Meluncur Beralaskan Lumut dan Bebatuan di Kanan-Kiri

Selasa 24-06-2014,00:00 WIB

                Jalom mengakui, rute yang baru kami selesaikan itu didesain bagi mereka yang tidak mempunyai pengalaman di kegiatan alam. Tebing setinggi enam meter yang harus kami lalui, itu bukan apa-apa dibandingkan rute-rute lainnya. ’’Ada rute yang melewati curug 20. Disebut begitu karena tingginya 20 meter,’’ jelasnya.

                Pukul 16.00, rombongan akhirnya tiba di Kedung Nila, Desa Karangsalam. Tempat itu menjadi tempat finis canyoning. Kami menempuh rute 2-3 km itu dalam waktu 2,5 jam! ’’Sebenarnya yang membuat lama itu bukan susur sungainya. Tapi karena harus menunggu orang-orang lompat dan acara foto-foto tadi,’’ celetuk Jalom.

Untung kami sudah sampai finis sore itu. Pasalnya, begitu kami tiba di tempat istirahat tersebut, hujan tiba-tiba turun.

’’Terus terang, olahraga ini sangat mengasyikkan. Saya merasa ketagihan meski ada rasa takutnya saat terjun ke jurang atau saat berada di arus sungai,’’ ujar Bagus Anugrah Brilliana sambil menyeruput kopi hangat yang disajikan di tempat finis.

Bagus memang pernah kuliah di Universitas Jenderal Soedirman (Unsud) Purwokerto sebelum merantau ke Jakarta untuk bekerja sebagai desainer grafis. Tapi, baru kali itu dia merasakan sensasi olahraga ekstrem canyoning.

 Menurut pria penyuka traveling itu, canyoning lebih menantang dibandingkan body rafting di mana peserta mengikuti arus sungai. ’’Mirip, tapi ini lebih seru. Kami bisa sliding. Apa lagi air di Baturaden dingin banget,’’ ujarnya.

Lalu apa yang membuat canyoning lebih seru\" Bagus mengatakan, dirinya baru mendapatkan sensasi setelah menjajal olahraga itu kali kedua. Yakni mencoba rute yang cukup sulit, curug 20. Di tempat itulah dia kali pertama mencoba belaying, turun dari jurang dengan bantuan tali.

                ’’Suhu di sana 16 celcius. Jadi, bisa dibayangkan bagaimana dinginnya. Di sana memang jadi sumber mata air. Bau khas mineralnya bikin relax banget,’’ ungkapnya.

                Bahkan, Bagus mengaku sedang merencanakan untuk kembali mencicipi sensasi susur ngarai di Baturaden. Menurut dia, kegiatan tersebut bisa menjadi cara untuk menikmati pemandangan alam sekaligus memacu adrenalin. Di sisi lain, keahlian yang dibutuhkan dalam rekreasi tersebut pun bisa disesuaikan.

’’Canyoning dengan teman-teman dekat berjumlah 10-15 orang, pasti seru banget,’’ imbuhnya.

                Jalom menjelaskan, canyoning  berasal dari Eropa untuk keperluan riset hidrologi, biologi, dan lain-lain. Tapi, dalam beberapa tahun terakhir, kegiatan tersebut akhirnya berkembang menjadi olahraga reakreasi  ekstrem.

                ’’Di Indonesia sebenarnya sudah ada pegiat outdoor yang mencoba canyoning. Tapi belum ada yang benar-benar fokus. Di Bali, misalnya,  sebenarnya ada perwakilan federasi ICOpro (International Canyoning Organization for Profesional). Tapi tetap saja yang aktif orang asing,’’ ungkapnya.

                Karena itu, Jalom bersama teman-temannya menggagas pendirian komunitas Canyoning Id di Purwokerto, ibu kota Banyumas, tahun lalu. Komunitas yang kini mempunyai 20 anggota tersebut terus mengembangkan olahraga ini ke arah rekreasi alam.

’’Awalnya, kami mencari olahraga apa yang cocok dengan kontur alam di Purwokerto yang berbukit. Nah, ternyata sangat cocok dengan canyoning,’’  tuturnya.

                Meski baru seumur jagung, Jalom cs terus mendorong kegiatan canyoning di sekitar Banyumas. Saat ini sudah ada tiga rute canyoning yang dibuka secara komersial. ’’Sebenarnya ada tujuh rute di Banyumas. Tapi belum semuanya bisa secara komersial.’’

                Aktivitas komunitas itu didukung pemerintah dan perusahaan setempat. Misalnya, BAF yang menyokong kegiatan eksplorasi Canyoning Id untuk menemukan jalur baru. ’’Pemerintah daerah juga berencana menjadikan canyoning sebagai wisata khas Banyumas,’’ tandas dia.

Tags :
Kategori :

Terkait