“Sepanjang partai itu menguntungkan. Kecuali para pendiri partai, kalau para pengikut partai itu biasa, misalnya HBA dari Golkar ke Demokrat, Hazrin dari Golkar jadi Ketua PAN, jadi itu biasa demikian juga dilevel nasional. Jadi orang pindah partai itu bukan karena persoalan ideologi tetapi persoalan kepentingan,” tukasnya.
Namun ia menilai, akan lebih baik BM menjadi pendamping HBA dan ini agak menarik karena pasangan barat timur.
Sementara itu, Nasuhaidi, Pengamat Politik Jambi lainnya menilai, BM cenderung melihat ini sebagai peluang pribadi untuk bisa maju sebagai calon gubenrur. “Jadi dia kelihatannya tidak terlalu merasa terikat dengan partai, kelihatannya seperti itu. Mestinya dia menjadi bagian dari Demokrat atau HBA dan seharusnya bersinergi,” ujarnya.
Hal ini juga diperkuat dengan langkah-langkah politik BM sebelumnya yang berpindah-pindah partai. “Apalagi langkah politik sebelumnya lancar-lancar saja pindah partai dan dapat dukungan di Pilkada,” tambahnya.
Namun demikian, menurutnya peluang kandidat lain untuk maju selain HBA dan Zola selalu terbuka. Apalagi saat ini baru Demokrat dan Golkar yang sudah menyatakan dukungannya ke HBA, sementara partai lainnya belum bersikap.
“Selalu terbuka untuk kandidat lain, paling tidak calon independen dan partai lain masih banyak yang belum menentukan pilihan,” imbuhnya.
“Dua figur (HBA dan Zola, red) yang muncul saat inikan karena mereka sudah eksis saja. Sebetulnya mungkin saja muncul figur lain dari etnis Jawa dan etnis-etnis lain. Bahkan Fachrori kalau tidak berpasangan dengan HBA masih berpeluang muncul,” sambungnya.
Lantas apakah ada kemungkinan BM merupakan calon boneka untuk memecahkan suara salah satu dari dua calon saat ini? “Menjadi calon boneka itu tidak bagus, apalagi posisi beliau sudah politisi senior dan politisi yang mapan. Mestinya berkompetisi secara benar, soal kalah menang itu biasa,” tandasnya.
(cas)