JAMBI – Pengelolaan tambang Batubara di Provinsi Jambi dinilai tak sesuai dengan tata ruang. Misalnya pada lahan yang miring para pengelola masih menggunakan pertambangan dengan sistem terbuka. Padahal seharusnya harus dengan sistem tertutup.
“ Karena apabila pada lahan yang miring dibuat tambang batubara dengan sistem tertutup maka, dampaknya terhadap lingkungan sangat banyak, contoh paling sering terjadi yaitu tanah longsor” sebut Rudi Syaf, Humas Warsi, Senin (8/9)
Lebih lanjut, Rudi mengatakan, tambang-tambang seperti ini, banyak ditemukan di seluruh kabupaten yang ada di Provinsi Jambi, seperti di Bungo, Tebo, Sarulangun, Bangko, Merangin, dan Tanjabar, Muaro Jambi, dan Batanghari.
“Temuan kita paling banyak tambang batu bara yang tidak sesuai dengan ruangnya, ada di daerah-daerah resapan air, seperti di hulu sungai Pengabuan Tanjungjabung Barat,” imbuhnya
Dikatakan Rudi, sejauh ini, dari Warsi sendiri, sudah merekomendasi penarikan izin tambang-tambang yang tidak sesuai tersebut ke pemerintah. Namun, katanya, pihak pemerintah lamban dalam menanggapinya.
“ Rekomendasi yang kita keluarkan, itu hampir sama dengan rekomendasi yang dikeluarkan KPK” pungkasnya.
Seperti diketahui, perusahaan tambang di provinsi Jambi banyak yang bermasalah. Dari 10. 922 izin pertambangan yang dimiliki 7. 754 pelaku usaha, 3. 202 diantaranya tidak punya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). ‘’Sekitar 52 persen bermasalah. Di Batanghari ada 64 dari 95. Lalu Tebo ada 42 izin yang bermasalah. Di Sarolangun dari 83 ada 36. Persentase Merangin itu 92 persen bermasalah, dari 13 izin, 12 diantaranya non clean and clear,’’ ungkap Dian Patria, Koordinator Tim Sumberdaya Alam Direktorat Litbang KPK, beberapa waktu lalu.
Dengan kondisi tersebut katanya, perusahaan tersebut tidak membayar pajak. Akibatnya, negara dirugikan. ‘’Bagaimana mau bayar pajak. Bahkan alamatnya saja seperti di Sumsel tak ketemu dimana, tak tahu dimana tempatnya. Ini fakta yang dibiarkan puluhan tahun,” sebutnya.
“Di Jambi sendiri, dari 398 IUP, terdapat 38 Pelaku Usaha Tanpa NPWP. Ini data dari dirjen pajak. Bahkan di Bungo, ada 5 perusahaan yang sudah produksi itu tak punya NPWP, jadi tak pernah bayar pajak. Bisa jadi dokumen yang disampaikan bodong,” tambahnya.
Disampaikannya, berdasarkan lokasi kawasan hutan Jambi seluas 480.502,47 Ha. Diantaranya Hutan Konservasi : 6.300,22 Ha ( 9 unit), Hutan Lindung : 63.662,22 Ha ( 5 unit) dan Hutan Produksi : 410.540,03 Ha ( 124 unit). Serta areal penggunaan lain 597.830,07 Ha. Diuraikannya juga, berdasarkan status perizinan pada kawasan hutan operasi produksi : 63.018,75 Ha, IPPKH : 2.899,73 Ha ( 27 unit), Persetujuan Prinsip : 3.337,53 Ha ( 18 unit), Explorasi : 347.521,28 Ha , dan IPPKH 43.680,95 Ha.
Dipaparkannya juga, daftar nama perusahaan pemegang izin pertambangan Yang terindikasi tumpang tindih dengan hutan konservasi Di Provinsi Jambi. Diantaranya, Abdi Pertiwi Loka dengan 1,548.58 ha non CnC. Kemudian, Arta Bevimdo Mandiri dengan luas lahan, 1,937, 71 ha. Lalu, Batu Alam Jaya Mandiri dengan luas 49.58 ha, kemudian Geomineral Bara Perkasa dengan luas 31.57 ha.Selain itu, juga ada Jambi Gold dengan luas lahan 6.30 ha, Tunas Prima Coal 132.55 ha, Wilson Citra Mandiri dengan luas 70.41 ha dan Sarwa Sembada Karya Bumi dengan luas 2,030.69 ha.
Dia juga membeberkan, daftar nama perusahaan pemegang izin pertambangan yang berada dalam hutan lindung di Provinsi Jambi. Diantaranya, Delapan Inti Power dengan luasan lahan 281.48, Jambi Gold dengan luas lahan 49,969.13 ha, Semen Baturaja (persero) dengan luasan 671.81 ha. Kemudian Tunas Prima Coal dengan luasan lahan di hutan lindung 7,075.67 ha. “Padahal hutan lindung itu dilarang keras,” tegasnya. Dengan hal ini, kerugian negara yang disebabkan mencapai miliaran dolar.
Johan Budi SP, juru bicara KPK mengatakan, dari kegiatan Korsup Minerba di 12 Provinsi, Jambi termasuk terbesar kedua temuan izin bermasalah setelah Kalsel. Namun sialnya, tak ada satupun IUP yang dicabut. Menurutnya, baru beberapa saja yang sudah melaksanakan rekomendasi KPK.
\"Beberapa Kepala daerah telah mencabut IUP. 35 IUP oleh Bupati Morowali (target Mei 2014 akan dicabut lagi 50 IU), 4 IUP oleh Bupati Lahat, 10 IUP oleh Bupati Malinau, 20 IUP oleh Bupati Kutai Kertanegara, 2 IUP di Hutan Konservasi oleh Bupati Musi Rawas,\" jelas Johan Budi dalam rilisnya, kemarin.
Ia mengatakan, implementasi pengawasan produksi pertambangan adalah dilaksanakannya kewajiban pelaporan. Baik oleh pelaku usaha dan pemerintah daerah, pelaksanaan good mining practices, dan hilangnya praktek pertambangan ilegal. Tapi, faktanya pelanggaran terhadap undang-undang masih terus berjalan. \"Di Jambi masih kita temukan ekspor secara ilegal,\"katanya.