\"Dalam UUD disampaikan adalah kedaulatan ada di rakyat, yakni memilih tanpa perantara. Ketika dengan perantara, maka akan terjadi banyak penyimpangan,\" ujarnya.
Mantan Walikota Bontang, Andi Sofyan Hasdam memiliki cerita terkait kiprahnya saat menjabat, hasil pemilihan oleh DPRD tahun 2001. Andi menyebut, sulit bagi kepala daerah untuk bekerja optimal menyusun programnya untuk rakyat. Ini karena, kinerjanya lebih banyak direpotkan oleh sejumlah oknum anggota DPRD.
\"Setiap akan menyampaikan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) itu ada negosiasi lagi. Begitu terus setiap tahun,\" ujar Andi di tempat yang sama.
Negosiasi itu, kata Andi, dimaksudkan supaya ada imbal balik untuk meloloskan LPJ itu. Namun, jika negosiasi tidak berjalan lancar, hampir pasti LPJ itu ditolak. \"Imbasnya, ada kepala daerah yang diusulkan ke Menteri Dalam Negeri untuk ditolak,\" ujar Andi.
Andi di pilkada Bontang tahun 2006 terpilih lagi dalam pemilihan langsung. Dari situ, dirinya bisa merasakan perbedaannya. Pemilihan DPRD akan lebih banyak membuat kepala daerah tersandera. Pengisian jabatan dinas pun tidak lepas dari campur tangan dinas. \"Jadi nanti sudah ditentukan sekdanya dari partai ini, kepala dinas PU dari partai ini,\" ujarnya mengingatkan.
Bupati Samosir, Mangindar Simbolon juga mendukung pemilihan langsung, meski dirinya berstatus sebagai kader Partai Golongan Karya. Semua yang hadir di rakor sudah menandatangani pernyataan untuk menolak pilkada oleh DPRD. \"Pertimbangan kami disini bukan pertimbangan parpol. Ini pertimbangan rakyat banyak,\" ujar Simbolon.
Menurut dia, tidak masalah jika RUU Pilkada dibahas untuk direvisi. Namun, sebaiknya sistem pemilihan tidak dirubah dari pola pemilihan langsung. Pola pemilihan oleh DPRD hanya akan menguntungkan segelintir elit yang ada di DPRD. \"Ini nantinya menjadi suatu kemunduran apabila kepala daerah dipilih oleh DPRD,\" ujarnya.
Meski sejumlah bupati yang menyampaikan penolakan berasal dari partai pendukung pilkada DPRD, mereka menyatakan tidak gentar dengan ancaman sanksi. Isran msialkan, selama ini dirinya tidak pernah ditegur karena perbedaan pandangan dengan partai. Sementara Emil sapaan akrab Ridwan Kamil-, menegaskan tidak memikirkan sanksi dari partai. \"Jadi, kalau nanti ditanya takut sanksi? Itu nomor sekian, yang pertama adalah isi kepala dan hati kita,\" ujarnya.
Poin keputusan rapat koordinasi antara Apkasi dan Apeksi adalah menyepakati perlu adanya perbaikan sistem pemilihan kepala daerah dengan mempertimbangkan aspek filosofis, yuridis, sosiologis, politis dan praktis. Apkasi dan Apeksi juga sepakat jika sistem pemilihan tetap menggunakan mekanisme satu paket, atau tetap menyertakan calon wakil kepala daerah.
Apkasi dan Apeksi berencana akan mendatangi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan DPR untuk menyampaikan keputusan itu. Keduanya jika meminta Kemendagri yang mewakili pemerintah bisa menarik diri dari pembahasan RUU Pilkada, jika mayoritas keinginan DPR terkait RUU Pilkada tidak berubah.
\"Jika sistem pemilihan DPRD tetap tidak ada perubahan, Apkasi dan Apeksi akan melakukan judicial review (UU Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi,\" tandas Isran.
Adanya penolakan dari sejumlah kepala daerah dari Partai Golkar nampaknya membuat DPP partai berlambang beringin itu gerah. Juru Bicara DPP Partai Golkar Tantowi Yahya menyatakan, seluruh kader termasuk kepala daerah harus solid mendorong pemilihan kepala daerah tidak langsung. Jika ada kader atau kepala daerah dari Partai Golkar yang berbeda pendapat, akan ada sanksi yang dijatuhkan.
\"Bila ada yang beda akan kami bawa ke rapat pleno untuk ditetapkan sanksinya. Yang jelas akan ada sikap dari DPP,\" tegasnya.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Agung Laksono menegaskan, kalau posisi partainya masih tetap kembali dipilih DPRD. Pertimbangannya, menurut dia, sistem tersebut lebih efektif. \"Bagus juga untuk mengurangi biaya politik, juga politik uang,\" kata Agung saat ditemui di istana negara.
Disinggung terkait potensi politik uang yang bisa juga muncul saat pemilihan lewat DPRD, dia berpandangan kalau pengawasannya akan lebih simple ketimbang sebaran politik uang untuk pilkada langsung. \"Kalau DPRD kan cuma beberapa orang saja. Tinggal dilihat saja proses bener atau nggak, trus lihat kekayaannya, nambah atau nggak. Jadi, kan lebih mudah dan lebih bisa diawasi,\" tandas menkokesra tersebut.
Hingga hari ini, dua ketentuan di RUU Pilkada memang masih menemui jalan buntu. Pemerintah bersama fraksi PDIP dan Partai Hanura menghendaki pemilihan kepala daerah, baik bupati/walikota maupun gubernur, tetap dipilih langsung oleh rakyat. Di seberang, sejumlah fraksi yang notabene merupakan tergabung di Koalisi Merah Putih (KMP) mendukung opsi seluruh tingkatan pilkada kembali dipilih oleh DPRD. Berada di tengah-tengah kedua opsi, PKB memilih mendukung agar gubernur tetap dipilih langsung, sedangkan bupati/walikota dipilih DPRD.