Penomena Menarik
Sesungguhnya seseorang yang mau menikah dengan seseorang yang berbeda agama dapat dipandang tidak lagi mementingkan agama, tetapi “cinta”. Mungkin yang diperlukan adalah pengakuan di hadapan umum bahwa mereka serumah di atas ikatan legalitas hukum, bukan cinta/nafsu semata.
Namun yang terlihat menarik bahkan terasa aneh, mereka tetap meminta fatwa agama. Akan semakin menarik kemudian ketika yang diminta fatwa memberikan jawaban atas penomena yang terjadi sebagai alasan untuk menentukan pendapatnya, bukan rujukan agama. Bukan sebaliknya, yaitu penomena sosial yang memperkuat logika agama.
Hak Tuhan, Hak Anak dan Perceraian
Jika ditelusuri kasus perceraian sejumlah “idola?” masyarakat selama ini, maka yang terlihat adalah pentingnya Hak Azazi Tuhan diperhatikan ketika usia mendekati tua, atau mati. Namun sebagian diantara mereka mulai merasakan pentingnya untuk menyelamatkan anak dari neraka. Ibu dan ayah akan menyalamat anaknya dari neraka jika dia tidak diberikan pelajaran agama yang dianut ayah atau ibunya.
Adakalanya ibu memaksakan anaknya untuk mengikutinya ke Gereja, sementara ayahnya memaksanya ke Masjid, atau sebaliknya. Masing-masing tanpa sadar memasung hak anak mereka karena memikirkan tanggung jawab adanya Hak Tuhan. Adalah Hak Tuhan untuk memasukkan salah satu atau semua mereka/kita ke neraka atau surga.
Ketika masing-masing merasa akan atau telah gagal memainkan peran untuk tujuan menyelamatkan pasangannya berpindah ke agamanya, maka seringkali munculnya Hak Veto bahwa Hak Tuhan lebih utama dari hak pasangan atau anak, “keluarga, anak, istiri adalah nomor satu ... tetapi aku lebih menomorsatukan Yang Nomor Satu (Tuhan), (demikian Jamal Mirdad 2013). Di sinilah hak anak untuk hidup nyaman di bawah asuhan orang tuanya terabaikan oleh mereka yang tadi memperjuangkan Hak Azazi Manusia. Namun terlihat di atas semua hak itu ada Hak Azazi Tuhan.
Jalan Keluar
Barangkali pilihan terbaik adalah hidup berpasangan tanpa nilai agama dengan tidak mempunyai keturunan dan buanglah sejauh-jauhnya istilah Tuhan dan dosa. Dalam Universal Declartion of Human Rights 1948 itu tidak ada konsep Tuhan dan Dosa. Namun jika mempunyai keturunan hampir dapat dipastikan akan menghadapi persoalan pilihan agama anak.