Asnaini, Kepala Desa Perempuan Pertama di Aceh
Era reformasi memang mendorong sosok perempuan untuk terjun dan berkarya. Khususnya di bidang politik dan pemerintahan. Namun, tidak berarti hal tersebut mudah dilakukan. Apalagi berkarya di lingkungan dengan adat yang masih kuat. Hal itu dijalani Asnaini sebagai kepala desa perempuan pertama dan satu-satunya di Provinsi Aceh.
MOCHAMAD SALSABYL AD\"N, Jakarta
Lantai 28 gedung The Energy, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Jumat malam lalu (26/9) diisi para sosialita dari berbagai umur. Para perempuan itu sibuk berbincang sambil makan dengan kolega. Di antara kerumunan, Asnaini, 43, duduk dengan mengenakan kerawang gayo, baju adat suku Gayo. Hari itu kepala desa Pegasing, Aceh Tengah, tersebut menjadi salah satu kandidat penerima anugerah Saparinah Sadli 2014.
\"Malam ini adalah tahun kesepuluh penghargaan yang diserahkan kali pertama kepada Maria Ulfah Anshor. Selama ini, kami memberi penghargaan kepada pegiat non pemerintah yang memberi kontribusi luar biasa kepada lingkungannya. Namun, kali ini kami ingin menghargai perempuan dalam pemerintahan. Kami memilih tema penyelenggara kebijakan publik tingkat lokal terinspirasi dari Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini,\" ungkap Smita Notosusanto selaku ketua panitia acara tersebut.
Dalam acara itu panitia telah menentukan tiga finalis. Selain Asnaini, kursi kandidat juga diisi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Maluku Tenggara Barat Juliana Ratuanak dan Kepala Desa Pitusunggu, Sulawesi Selatan, Nurhayati. Namun, hasil akhir memutuskan Asnaini sebagai pemenang penghargaan dan berhak membawa hadiah Rp 35 juta dengan menandatangani pakta integritas.
\"Sebenarnya tiga finalis sudah berkontribusi secara nyata dan kami ingin semua finalis diberi penghargaan. Tapi, karena permintaan panitia hanya satu, kami memilih Asnaini sebagai pemenang,\" tutur Smita.
Pertimbangannya, lanjut Smita, Asnaini berhasil mendobrak batasan adat istiadat di Aceh Tengah yang menganggap pemimpin perempuan tabu. \"Ini seperti bangkitnya pemimpin perempuan pada zaman Cut Nyak Dhien dulu,\" terang Imam Prasodjo, salah seorang panelis juri.
Anggota juri lainnya, Najwa Shihab, juga mengungkapkan bahwa sosok Asnaini bisa berkarya dengan semua keterbatasan. Meski hanya berstatus ibu rumah tangga dengan ijazah sekolah menengah atas (SMA), dia dinilai terus berkembang dengan kebijakan yang pasti. \"Saya lihat dia firm dalam melakukan kebijakan yang mendukung pemberdayaan perempuan. Buktinya, 50 persen dari APD (anggaran pembangunan desa) untuk perempuan, ibu, dan anak,\" ungkapnya.
Saat ditanya soal kunci sukses, Asnaini mengaku punya satu resep rahasia. Yakni, ngerumpi dengan ibu-ibu. Menurut dia, selama ini suara perempuan jarang terdengar dalam pembangunan desa. Alhasil, kebanyakan program Desa Pegasing sebelum 2011 berupa pembangunan jalan dan fasilitas pendukung kerja.
\"Kalau misalnya tanya ke bapak-bapak, pasti mereka memperhatikan apa saja yang kurang dalam pekerjaannya. Karena kebanyakan kerjanya sebagai petani sawah dan kebun kopi, maka mereka biasa minta pembangunan jalan ke kebun yang jauh. Tapi kalau saya bicara dengan ibu-ibu, mereka pasti bicara soal urusan dapur rumah tangga. Salah satunya soal akta kelahiran dan kartu keluarga (KK) yang belum diurus,\" ungkap Asnaini.
Dari hasil ngerumpi itulah, dia menemukan kendala apa saja yang belum diselesaikan di desanya. Perempuan yang sering dipanggil bu reje (panggilan kepala desa di Aceh) itu pun harus berkeliling desa untuk menanyakan siapa yang belum punya akta kelahiran dan KK. Upaya itu pun bukan sekadar tanda tangan.