JAKARTA - World Health Organitation (WHO) menyebut Kanker payudara sebagai jenis kanker pembunuh wanita tertinggi di dunia juga Indonesia. Angka penderita pun terus menanjak di tiap tahunnya. Padahal penyakit mematikan ini dinilai sangat mudah diantisipasi.
Persoalan tersebut dibenarkan oleh Pengurus Yayasan Kanker Indonesia, Amru Syofyan. Ia mengatakan jumlah penderita kanker payudara cenderung mengalami peningkatan. Dari data yang dimilikinya, pada 2006 total penderita mencapai 8.328 dan terus tumbuh menjadi 8.277 kasus pada 2007. \"Untuk data terkini, kami belum punya. Tapi dari hasil kajian, kemungkinan besar angka tersebut akan terus meningkat,\" ujarnya saat ditemui di Kantor YKI, Senin (6/10).
Amru menjelaskan, berdasarkan data YKI pusat, di Indonesia kanker payudara merupakan penyakit nomor dua menjadi penyebab kematian kaum wanita setelah Demam Berdarah Dengue (DBD). \"Tingginya angka kematian lebih banyak disebabkan keterlambatan penanganan, karena ketidaktahuan para penderita kanker payudara,\" jelasnya.
Ini terjadi karena kurangnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah dan stakeholder terkait mengenai tanda-tanda awal kanker payudara dan bagaimana pencegahannya. \"Meskipun ada sejumlah kasus yang menyerang pria, tapi memang umumnya menyerang wanita. Banyak yang tidak mengetahui kanker payudara, sehingga mereka terlambat melakukan pemeriksaan,\" ujar Amru.
Menurutnya, sebenarnya untuk menekan angka penderita kanker payudara sangatlah mudah dengan pengenalan gejala dan bagaimana cara pencegahan dini dengan melakukan Pemeriksaan Payudara Sendiri (Sadari). \"Kebanyakan wanita memeriksakan diri saat kanker sudah stadium lanjut. Tapi jika setiap wanita telah menguasai “Sadari”, pasti angka kematian akibat penyakit ini akan dapat ditekan,\" katanya.
Tingginya angka penderita kanker payudara dibenarkan Kepala Departemen Radioterapi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Profesor Soehartati Gondhowiardjo. Ia mengatakan, jumlah penderitanya di Indonesia kian meningkat. Data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) 2012 menyebutkan, prevalensi kanker payudara mencapai 4,3 banding 1.000 orang penderita kanker. Padahal data sebelumnya menyebutkan prevalensinya hanya 1 banding 1.000 orang. \"Tidak bisa dipungkiri, angka penderita kanker payudara terus meningkat,\" ujarnya di RSCM.
Ia menjelaskan, menurut Profil Kesehatan Indonesia Kemenkes tahun 2008, penderita kanker payudara di Indonesia terus menanjak sejak 2004. Pada tahun itu jumlah penderita mencapai 5.207 kasus. Jumlah tersebut naik menjadi 7.850 kasus pada 2005. Dan terus meningkat menjadi 8.328 kasus pada tahun 2006. Sedangkan Pada tahun 2007, penderita kanker payudara meningkat lagi menjadi 8.277 kasus. \"Dengan semakin banyaknya kasus kanker payudara, sudah saatnya pemerintah memperhatikan dengan serius dengan memberikan informasi yang memadai kepada masyarakat,\" imbaunya.
Soehartati menambahkan, data Center of Global Burden Of Diseas, lembaga peneliti kesehatan dari Australia saat melakukan penelitian di Indonesia menyebut, pada 2002 kanker payudara merupakan kanker terbanyak pada perempuan. Yaitu perbandingan 26 dari 100.000 penderita kanker. Diikuti kanker leher rahim sebanyak 16 dari 100.000. Jumlah ini juga didukung dengan data yang dikumpulkan oleh SIRS (Sistem Informasi Rumah Sakit) tahun 2007, kanker payudara menempati urutan pertama pada pasien rawat inap di seluruh RS di Indonesia, sebanyak 16,85%.
Tak heran, bila Soehartati mengatakan Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Serikat Pengendalian Kanker Internasional (UICC) memprediksi, akan terjadi peningkatan lonjakan penderita kanker sebesar 300 persen di seluruh dunia pada tahun 2030. \"Dan 70 persennya berada di negara berkembang seperti Indonesia,\" ungkapnya.
Pemerataan RS Kanker
Kenaikan prevalensi kanker di Indonesia diakui menjadi masalah bagi pengobatan. Soehartati mengatakan, pusat pengobatan kanker di Indonesia baru dapat melayani 15 persen pasien kanker. \"Padahal, angka tersebut, saat pasien kanker di Indonesia masih diprediksi 1 berbanding 1.000,\" ungkap profesor di bidang radiasi onkologi ini.
Karenanya, menurut Soehartati, Indonesia perlu menambah pusat pengobatan kanker dengan lokasi yang merata. \"Pusat pengobatan kanker di Indonesia masih 22 RS negeri, dan 2 RS swasta. Itu pun letaknya tidak merata. Selain jumlah, perlu juga diperhatikan jaraknya,\" cetusnya.
Namun yang lebih penting, lanjut Soehartati, adalah pengetahuan masyarakat dalam mengantisipasi kanker payudara. \"Sekitar 43 persen dari kanker dapat dicegah dengan pola hidup sehat dan 30 persen dari kanker dapat terdeteksi,\" jelasnya.
Ia juga menjelaskan, penyebab kanker tidak dapat ditentukan dari satu faktor risiko saja, tetapi gabungan dari banyak faktor.
Faktor risiko kanker antara lain riwayat keluarga, infeksi virus, paparan bahan kimia, dan radiasi. \"Untuk mencegah kanker diperlukan pencegahan primer yang terdiri dari berpikir positif, bergerak aktif, dan menjaga pola makan, serta pencegahan sekunder yaitu deteksi dini dan vaksinasi,\" terangnya.
Terpisah, Wakil Menteri Kesehatan, Ali Ghufron Mukti mengatakan, dalam pengendalian kanker payudara, pemerintah mentargetkan minimal 80 persen perempuan usia 30-50 tahun melakukan deteksi dini setiap 5 tahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2010, jumlah perempuan Indonesia yang berusia 30-50 tahun sekitar 36 juta.
Namun, hingga 2012, jumlah perempuan yang telah diskrining lebih dari 550 ribu orang. Dari jumlah tersebut ditemukan Inspeksi Visual dengan Asam Asetata (IVA)(+) lebih dari 26 ribu orang atau di kisaran 4,5%, suspek kanker leher rahim sebanyak 666 orang, dan suspek tumor payudara sebanyak 1.289 orang.
“Cakupan deteksi dini ini masih perlu ditingkatkan dengan kerja keras, kerja cerdas, dan inovasi bersama seluruh lapisan masyarakat,” kata Ali di Kantor Kemenkes.
Ia juga menuturkan, program nasional deteksi dini kanker payudara hingga 2013 telah menyebar ke 140 kabupaten di 31 provinsi, yang dilaksanakan oleh 500 dari 9500 Puskesmas. “Saat ini, telah ada 202 pelatih atau trainers yang terdiri dari dokter spesialis obstetri ginekologi, dokter spesialis bedah onkologi, dokter spesialis bedah, dan diperkuat oleh 1.192 providers atau pelaksana program terdiri dari dokter umum dan bidan,” paparnya.
Ia menyebutkan, ketidaktahuan masyarakat khususnya kaum perempuan Indonesia pada bahaya kanker payudara perlu disikapi dengan peningkatan upaya promotif-preventif, seperti sosialisasi, advokasi, dan edukasi di berbagai elemen masyarakat. \"Edukasi akan lebih efektif jika dilakukan lebih awal, antara lain pada siswa sekolah melalui guru-guru mereka dibantu oleh para ahli,\" ujarnya.
Ia juga berharap YKI dan Perkumpulan Obsetetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) beserta berbagai organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, dan BUMN dapat mendukung upaya ini. “Dengan dukungan seluruh lapisan masyarakat program ini diharapkan dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat kedua kanker tersebut,” tutur Wamenkes.
(happy/wmc)