Kalau kemudian sampai Oktober ini Haris dan para penghuni total 15 rumah di Buluh Kecil masih bertahan di sana, itu karena cuaca saat ini kerap berubah. Tapi, menurut Haris, jika dirata-rata, mereka memang boyongan tiap enam bulan sekali.
Bisa dibayangkan kerepotannya. Memang, dari para penghuni 15 rumah di sana, rata-rata tak punya perabot besar seperti lemari atau meja-kursi. Kalaupun punya, sudah pasti akan ditinggal.
‘’Kami hanya membawa perabot-perabot penting seperti alat memasak atau alat menjemur ikan. Bahan makanan dan pakaian juga kami bawa semua,’’kata Sartono, warga Buluh Kecil lainnya.
Yang sudah pasti tak boleh tertinggal adalah peralatan sekolah. Sebab, pendidikan anak-anak Buluh Kecil harus tetap berjalan, kendati mereka harus boyongan tiap enam bulan sekali.
Anak-anak Buluh Kecil umumnya bersekolah di Desa Betok. Di sana ada SD dan SMP satu atap. Tapi, ada pula yang bersekolah di Tanjung Pandan, Belitung. Kepulauan Karimata memang berada di antara Kalimantan dan Belitung.
‘’ Biasanya, yang sekolah ke Belitung adalah yang punya kerabat di sana,’’kata Haris.
Wilayah kepulauan Karimata umumnya berstatus kawasan cagar alam laut (CAL). Itulah yang membuat masyarakat setempat tak memiliki sertifikat kepemilikan hak atas tanah.
Termasuk tentunya warga Buluh Kecil. Pulau itu ditinggali sejak 1972. Haris merupakan generasi pertama orang-orang Bugis yang datang dari Sinjai, Sulawesi Selatan, untuk mencari penghidupan yang lebih baik.
‘’Waktu itu kami berjumlah 18 orang menggunakan kapal layar dan dayung. Umur saya masih 18 tahun,’’kenangnya.
Di antara nenek moyang Buluh Kecil itu, tinggal Haris yang masih berdomisili di sana. Rekan-rekannya, yang kalau tidak meninggal, menetap di pulau lain.
Hingga kini, Pulau Buluh Kecil hanya memiliki satu RT (rukun tetangga), yaitu RT 6. Terdapat tujuh kapal bagan yang tiap kapal terdiri atas pekerja. Ikan-ikan tangkapan mereka dijual ke pengepul dari Tanjung Pandan. Ada pula yang diolah menjadi ikan asin. Kebanyakan ikan hasil olahan dijual ke Ketapang, Kalbar.
Untuk harga, rata-rata ikan basah dijual Rp 1.700 per kilogram, sedangkan ikan kering olahan Rp 30 ribu per kilogram. ‘’Dalam sekali melaut, kadang dapat empat keranjang ikan. Isi keranjang antara 40 sampai 60 kilogram,’’jelas Haris.
Ikan memang semakin sulit dicari. Namun, Sartono mengaku, sekali melaut dalam tiga hari, dirinya bisa membawa pulang Rp 700 ribu sampai Rp 1,5 juta.
‘’Pendapatan kami tidak menentu, bergantung rezeki. Tapi, ya masih cukup buat hidup dan menyekolahkan anak,’’ujar pria 35 tahun tersebut.
Karena itu, ada beberapa anak kelahiran Buluh Kecil yang kini bahkan bisa berkuliah sampai ke Bandung. Ya, hidup di sana mungkin memang tak seperti ҒsurgaҒ yang dijanjikan dalam Kolam Susu.
Tapi, Haris, Sartono, dan warga Buluh Kecil lain tak pernah menyerah. Kendati tiap enam bulan sekali mereka harus pindah rumah.