Meskipun demikian, Iman sepakat bahwa kebebasan berbicara dan melontarkan kritik harus benar-benar dijaga agar tidak sampai melenceng. ‘’Kebebasan berbicara yang cenderung sifatnya membangkitkan kebencian itu juga tidak sepantasnya ada di alam demokrasi,’’tambahnya.
Ketentuan ujaran kebencian juga mendapat respon dari kalangan seniman. Sebab muncul kekhawatirkan juga polisi mengaduk-aduk pentas kesenian karena ditengarai mengandung muatan ujaran kebencian.
Ketua Pengurus Koalisi Seni Indonesia Muhammad Abduh Aziz menjelaskan konten kebencian yang terserak di publik memang sangat banyak. ‘’Diantaranya ada di media sosial Facebook dan Twitter,’’katanya di diskusi jelang Kongres Kesenian Indonesia III di Jakarta kemarin. Dia menjelaskan sudah sewaktunya kicauan atau pesan-pesan yang mengarah pada kebencian, menghasut, dan memprovokasi itu diterbitkan.
Namun dia meminta supaya polisi tidak asal-asalan dalam melakukan penindakan ujaran kebencian ini. Menurut Abduh surat Kapolri tentang ujaran kebencian itu sejatinya menunjukkan kinerja polisi yang tidak maksimal menegakkan aturan tentang penghinaan, pencemaran nama baik, penebar kebencian, dan sejenisnya. ‘’Aslinya di KUHP maupun di UU Informasi dan Transasksi Elektronik sudah diatur semua. Kalau masih ada surat itu, berarti selama ini tidak jalan,’’paparnya.
Dia juga mengingatkan bahwa ujaran kebencian, seperti mengkafirkan orang atau sejenisnya, jauh dari apa yang disebut kritik seni. Dia mengatakan kritis-kritik yang disampaikan melalui kesenian, itu tujuannya untuk membangun dan memperbaiki. Bukan kritik untuk menghujat, meruntuhkan, atau sejenisnya.
Budayawan sekaligus guru besar arekeologi UI Edi Sedyawati mengatakan, kesenian atau dunia seni memang erat sekali dengan kritik. Bahkan ada kajian khusus kritik seni. Namun dia menegaskan bahwa kritik dalam seni itu tidak identik dengan celaan. ҒKritik dalam seni itu memunculkan yang baik dan buruk,Ғ jelas perempuan yang juga menekuni dunia tari itu.
Kepala Badan Bahasa Kemendikbud Mahsun menjelaskan istilah ujaran terkait dengan bahasa lisan. Sedangkan yang dimaksud dengan ujaran kebencian dalam surat Kapolri itu juga mencakup bahasa tulis yang banyak digunakan di beragam wujud media.
Guru besar lingustik Universitas Mataram itu mengatakan, masyarakat bisa jadi ada yang masih bingung dengan istilah ujaran. Apalagi dalam surat Kapolri itu tidak dijelaskan secara detail maksud atau pengertahuan ujaran. ‘’Supaya mudah, masyarakat bisa memaknai ujaran kebencian itu sama dengan pesan kebencian,’’katanya. Sebab penggunaan kata pesan, bisa mencakup bahasa tulis maupun lisan.
(idr/byu/wan)