Kalau Perusahaan Menolak Penetapan Pengawas Ketenagakerjaan
JAKARTA - Muhammad Komarudin tersenyum lega begitu keluar dari ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK) kemarin (4/11). Ketum Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia itu langsung mengajak belasan rekannya yang ikut sidang untuk sujud syukur. MK mengabulkan permohonan mereka untuk melibatkan pengadilan dalam penyelesaian masalah status tenaga kerja.
Ada tiga pasal dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang digugat oleh Komarudin dkk. Pertama, pasal 59 ayat (7) yang mengatur perjanjian kerja untuk waktu tertentu alias kontrak. Kedua, pasal 65 ayat (8) tentang pengalihan pekerjaan kepada perusahaan lain, dan pasal 66 ayat (4) tentang outsourcing.
Frasa ‘demi hukum’ dalam ketiga pasal tersebut dianggap belum memberikan kepastian hukum. Sebab, kebanyakan perusahaan tidak melaksanakan aturan tersebut. Menurut pasal itu, apabila perusahaan tidak melaksanakan perjanjian kerja kontrak sesuai ketentuan, maka demi hukum, perjanjian itu otomatis menjadi perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu. Sehingga, si pekerja harus menjadi pegawai tetap.
Namun, selama ini banyak perusahaan tidak menaati aturan tersebut. Ketika kontrak itu batal demi hukum, para pekerja tidak bisa menuntut. ‘‘Yang ada malah di-PHK semua,’‘ terang Komarudin. Karena itu, dia mengajukan gugatan agar apabila ada pelanggaran kontrak, bisa dieksekusi.
Gugatan itu pun mendapat putusan yang positif dari MK. ‘‘Amar putusan, mengadili, menyatakan mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya,’‘ ujar Ketua MK Arief Hidayat dalam putusannya. Ketiga pasal itu dinyatakan inkonstitusional bersyarat, khususnya dalam frasa ‘‘demi hukum’‘.
Kini, para pekerja dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan yang dikeluarkan pengawas ketenagakerjaan, kepada Pengadilan negeri. Namun, MK mensyaratkan dua hal untuk bisa mengajukan pengesahan ke PN. Pertama, sudah ada perundingan bipartite antara karyawan dan perusahaan, namun buntu atau salah satu pihak menolak berunding. Syarat kedua, sudah ada pemeriksaan oleh pengawas ketenagakerjaan sesuai aturan perundangan yang berlaku.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan frasa ‘‘demi hukum’‘ dalam pasal-pasal itu sebenarnya langsung dapat dilaksanakan atau berlaku dengan sendirinya. Artinya, apabila berdasarkan pasal tersebut karyawan kontrak demi hukum harus diangkat menjadi karyawan tetap, maka perusahaan wajib memberlakukannya.
Atas dasar itulah buruh bisa meminta pelaksanaan nota pemeriksaan itu kepada PN.
PN berfungsi sebagai eksekutor untuk memerintahkan perusahaan mematuhi ketentuan. ‘‘Hal itu untuk menegakkan pelaksanaan ketentuan ketenagakerjaan, serta memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pekerja atau buruh, pengusaha, dan pemberi pekerjaan,’‘ terang Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Dalam praktiknya, bila buruh dipermainkan oleh perusahaan terkait dengan perjanjian kontrak kerja, maka bisa dilakukan perundingan bipartit antara kedua belah pihak. Apabila buntu, maka pengawas ketenagakerjaan akan turun tangan. Kalau perusahaan dinilai melanggar, maka pengawas dapat menerbitkan nota pemeriksaan atau penetapan tertulis untuk meminta perusahaan mengangkat pekerja tersebut menjadi pegawai tetap.
MK menilai, penetapan oleh pengawas itu merupakan tindakan hukum tata usaha negara (TUN) yang menimbulkan akibat hukum TUN bagi pekerja dan perusahaan. ‘‘Karena itu, sifatnya menjadi konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata,’‘ tambahnya.