JAKARTA – Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) masih menyesalkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor Perkara 97/PPU-XIV/2016 berkaitan dengan pencantuman kolom penghayat kepercayaan dalam e-KTP. Namun, mereka tetap menghormati putusan tersebut. Dengan catatan, pemerintah mencantumkan kolom kepercayaan tanpa kolom agama pada e-KTP penghayat kepercayaan.
Keterangan tersebut disampaikan langsung oleh Ketua Bidang Hukum dan Perundang-Undangan Dewan Pimpinan MUI Basri Bermanda di kantor MUI Jakarta kemarin (17/1). Menurut dia, catatan tersebut ditujukan kepada pemerintah dalam bentuk usulan. ”Agar kepada penghayat kepercayaan diberikan KTP elektronik yang mencantumkan kolom kepercayaan tanpa ada kolom agama,” ungkapnya.
Menurut pria yang akrab dipanggil Basri itu, usulan tersebut sesuai dengan hasil Rapat Kerja Nasional III MUI Tahun 2017 yang dilaksanakan akhir November tahun lalu. MUI menilai pembuatan e-KTP untuk penghayat kepercayaan dengan kolom khusus merupakan solusi terbaik guna mengimplementasikan putusan MK. ”Karena putusan MK sesuai konstitusi bersifat final dan mengikat,” jelasnya.
Karena itu, MUI tetap menghormati putusan tersebut. Selanjutnya, mereka mendorong pemerintah segera merealisasikan pembuatan e-KTP bagi penghayat kepercayaan. ”Untuk memenuhi hak warga negara yang masuk kategori penghayat kepercayaan,” kata Basri. Dengan begitu, penghayat kepercayaan memiliki kartu identitas yang lebih jelas.
Meski ada perbedaan pada e-KTP penghayat kepercayaan dengan e-KTP umat beragama, kata Basri, itu tidak bersifat diskriminatif. Melainkan bentuk perlakuan negara sesuai dengan ciri khas serta hak warga negara yang berbeda. ”Hak pemeluk agama mempunyai KTP elektronik yang mencantumkan kolom agama sehingga identitas agamanya diketahui secara jelas dan pasti,” imbuhnya.
Demikian pula hak penghayat kepercayaan yang boleh mencantumkan kolom kepercayaan dalam e-KTP sebagai identitas mereka. ”Putusan MK mengenai perkara itu juga menyatakan bahwa memperlakukan berbeda terhadap hak yang berbeda bukan diskrirninatif,” bebernya. Untuk itu, perbedaan e-KTP tersebut seharusnya tidak lagi menjadi soal.
Namun demikian usulan tersebut tidak lantas mengubah pandangan MUI soal kementeriaan yang berhak membina serta membawahi pengahayat kepercayaan. Basri menyampaikan, MUI meminta tugas tersebut dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). ”Sebagaimana telah berjalan dengan baik selama ini,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Basri mengungkapkan bahwa meski MUI menghormati putusan MK soal pencantuman kolom penghayat kepercayaan dalam e-KTP, mereka menilai putusan tersebut kurang cermat. Lebih dari itu, putusan tersebut juga dinilai sudah melukai perasaan umat beragama. ”Karena putusan tersebut berarti telah menyejajarkan kedudukan agama dengan aliran kepercayaan,” kata dia.
Padahal MUI memandang agama dan kepercayaan tidak sama. Karena itu, kata dia, putusan MK tersebut menimbulkan konsekuensi hukum. Juga berdampak terhadap tatanan kehidupan sosial masayarakat. ”Serta merusak kesepakatan kenegaraan dan politik yang selama ini sudah berjalan dengan baik,” ujarnya. Dengan alasan itu, ke depan mereka meminta MK lebih cermat dalam mengambil keputusan.
Apalagi jika keputusan tersebut menyangkut hajat hidup orang banyak serta berpotensi berdampak luas. Bukan hanya harus cermat, MK juga mesti membangun komunikasi yang lebih baik untuk menyerap aspirasi masyarakat juga pemangku kepentingan. ”Sehingga dapat mengambil keputusan secara objektif, arif, bijak dan aspiratif,” tutur Basri.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pimpinan MUI Anwar Abbas pun menyampaikan bahwa MUI sangat kecewa terhadap putusan MK. Namun, putusan itu sudah final. ”MUI harus patuh,” ucap dia. Karena itu, mereka mengusulkan agar e-KTP untuk penghayat kepercayaan diberi kolom kepercayaan. Berbeda dengan e-KTP untuk umat beragama yang dilengkapi kolom agama. ”Kalau kepercayaan ditaruh di agama berarti menyamakan,” ujarnya.
(syn/)