Ada beberapa persyaratan teknis. Pertama besi atau baja kerangka tulangan. Besi utama yang vertikal harus setebal minimal 10 mm, sementara besi rusuknya (ring kotak) minimal 8 mm. Jarak antar ring juga harus cukup rapat. Minimal 15 sentimeter. Antar tulang juga mesti tersambung dan saling menusuk minimal beberapa puluh sentimeter untuk memastikan kedua elemen saling berpegangan saat terjadi gempa.
Yang tidak boleh dilupakan adalah kehadiran angkur. Yakni bagia besi yang melengkung dan menusuk ke dalam pondasi Sloof. ”Panjangnya minimal 40 sentimeter,” kata Tavio.
Selain itu, untuk penguatan dinding, ada baiknya untuk menambahkan jejaring kawat saat menyusun batu-bata. Memang agak sedikit lebih mahal, tapi baik untuk melindungi penghuni rumah saat struktur rumah gagal. ”Selama ini banyak yang tertimpa tembok rumah yang berat,” katanya. Jejaring kawat bisa juga dipasang di sisi luar dinding.
Terakhir, adalah atap. Menurut Tavio tren saat ini sudah bagus. Banyak pengembang perumahan yang menggalakkan penggunakan baja ringan seperti Galvalum atau Alumunium untuk membentuk kuda-kuda atap. Penggunaan bahan yang ringan sangat penting karena posisi atap berada di atas.
Saat terjadi gempa, sangat penting mengurangi berat massa dari atap. Semakin berat massa, akan semakin banyak momentum yang dihasilkan karena guncangan. Karena pada dasarnya guncangan adalah soal kecepatan. ”Kalau bahan yang diguncang ringan, maka kecepatan akan berkurang,” katanya.
Saat ini sudah banyak dikembangkan bahan penutup atap selain genteng yang lebih ringan. Bahkan ada beberapa yang sudah memproduksi atap seng dengan lapisan Glasswool, Rockwool, dan Acourete Fiber. Atap seng dikeluhkan karena berisik saat hujan, dan membuat rumah jadi sumuk saat terik matahari. ”Nah, glasswool bisa jadi pelapis untuk meredam suara dan panas,” pungkas Tavio.
(tau)