JAKARTA - Kapal pesiar Equanimity senilai USD 250 juta buronan Federal Bureau Investigation (FBI) selama empat tahun mampu diamankan Bareskrim sejak Sabtu (24/2). Sesuai dokumen FBI, kapal tersebut diduga merupakan hasil kejahatan yang masuk ke Amerika Serikat. Diduga kapal tersebut terhubung dengan 1 Malaysia Development Berhard (1MDB).
Ditemui di ruang kerjanya kemarin (28/2), Direktur Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Brigjen Agung Setya menuturkan, awalnya ada permintaan penyitaan kapal dari FBI terkait kapal tersebut pada 21 Februari. ”Maka, kami meminta berbagai bukti dan putusan pengadilan atas kasus kapal,” ujarnya.
Setelah semuanya klir, Dittipideksus Bareskrim meminta izin penyitaan ke Pengadilan Negeri (PN) Bali. Sebab, kapal terdeteksi di sekitar pulau dewata. ”pada 24 Februari diketahui kapal ada di dekat pelabuhan Lombok, maka kapal digiring ke Bali,” tuturnya.
Agung menuturkan, kapal tersebut diduga sudah beberapa bulan berada di Indonesia. Ada kemungkinan kapal ini telah berkeliling ke sejumlah daerah, seperti Bali, Lombok, Papua dan Maluku. ”Namun, untuk memastikannya masih dicek automatic identification system (AIS) di Kapal,” paparnya.
Sebelum ke Indonesia, kapal yang dinahkodai dan berawak kapal warga Belanda dan New Zealand telah berkeliling dunia selama empat tahun. Diantaranya, Amerika Serikat, Thailand, Australia dan sejumlah negara. ”Beberapa tahun keliling terus,” terang jenderal berbintang satu tersebut.
Untuk jumlah awak kapal diketahui sekitar 34 orang. Namun, anehnya kapal itu tidak memiliki penumpang, kendati berkeliling di Indonesia. ”Ini yang saya perlu tekankan, mengapa tidak ada penumpang tapi ke sejumlah tempat wisata,” ujarnya.
Ada dugaan bahwa penumpang dari kapal tersebut turun di Sorong, Papua, terkait hal tersebut Agung mengaku masih perlu untuk melakukan pendalaman. ”Masih kami cek lagi,” terangnya.
Kapal tersebut terhubung dengan kejahatan apa? Agung menjelaskan bahwa sesuai dokumen FBI diketahui bahwa ada uang hasil kejahatan yang masuk ke Amerika Serikat dan dibelikan kapal senilai USD 250 juta tersebut. Namun, belum bisa dipastikan kejahatannya apa. ”Belum bisa disebutkan,” jelasnya.
Saat dikonfirmasi bahwa kapal itu diduga terhubung dengan dugaan korupsi 1MDB di Malaysia, Agung belum bisa untuk menjelaskan dengan detil. ”Kalau kami hanya sejauh permintaan dari FBI,” paparnya.
Sementara itu, pakar hukum TPPU dari Universitas Trisakti Yenti Ganarsih mengatakan, otoritas hukum Indonesia memiliki kewenangan menangani perkara pencucian uang dari hasil kejahatan luar negeri. Menurut dia, hal itu diatur dalam pasal 5 UU Nomor 8 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. \"Jadi itu ada di (frasa pasal 5) menggunakan harta kekayaan hasil kejahatan,\" jelasnya.
Dalam pasal 5 UU tersebut menyebutkan setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil TPPU dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.
Atas dasar itu, otoritas penegak hukum Indonesia juga berhak mengadili pelaku TPPU tersebut. Namun, pihak Indonesia harus benar-benar menghitung sejauh mana kepentingan penanganan kasus tersebut. \"Boleh juga hasil penyidikannya saja dikirim ke Amerika karena info kapal ini hasil kejahatan adalah dari FBI,\" imbuh dia.
Berbeda dengan Yenti, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, penangkapan kapal hasil TPPU harus diserahkan kepada FBI atau otoritas hukum Amerika selaku pihak yang meminta penindakan tersebut. Sebab, otoritas itu yang memiliki kewenangan mengadili perkara tersebut. \"Yang mengadili adalah pengadilan dimana kejahatan dilakukan,\" ujarnya saat dihubungi Jawa Pos.
Menurut dia, pidana pencucian uang berupa kapal mewah tersebut merupakan tindak pidana transnasional. Karena itu, otoritas hukum Indonesia tidak memiliki kewenangan lebih jauh atas penangkapan tersebut. \"Yang (kapal) di Indonesia ini kan hanya disinggasi saja,\" terang Fickar.
Sementara Agung menambahkan, penanganan kasus TPPU kapal tersebut akan dipertimbangkan berdasarkan kecepatan dan pengungkapan kasus yang lebih baik. ”Kalau bisa diungkap lebih besar di Indonesia tentu bisa, tapi kalau lebih cepat dan besar mengungkap kasus di Amerika, tentu lebih baik ke sana. Kita teliti lagi,”