Pengawal tahanan (waltah) punya peran sentral dalam penanganan kasus korupsi di KPK. Risiko dan tantangan petugas waltah pun hampir sama dengan yang dihadapi tim inti penindakan. Termasuk ancaman nonteknis yang berbau magis.
AGUS DWI PRASETYO, Jakarta
RUANG sidang Koesoemah Atmadja Pengadilan Tipikor Jakarta masih terlihat sepi. Hanya segelintir orang yang berada di dalam ruangan. Mereka tampak sibuk memelototi layar gadget masing-masing.
Senin (19/2) itu jarum jam dinding di atas pintu masuk ruang sidang sisi dalam menunjuk pukul 09.45. Tepat pukul 10.00, ruang sidang dengan cat indoor dominan kombinasi cokelat tua dan cokelat muda tersebut baru terlihat riuh.
Keluarga dan pendukung terdakwa kasus e-KTP Setya Novanto (Setnov) mulai berdatangan. Mereka berjejal duduk di kursi panjang yang terbuat dari kayu. Istri Setnov, Deisti Astriani Tagor, memilih duduk di deretan kursi terdepan, dekat muka ruang sidang. Posisi itu jadi favorit Deisti sejak sidang pertama Setnov, 13 Desember 2017. Semenit kemudian, dari ambang pintu ruang sidang, Setnov muncul.
Dia mengenakan setelan batik cokelat dan celana kain hitam. Kehadiran Setnov membuat suasana sidang semakin ramai. Beberapa pengunjung dan awak media beringsut ke arah Setnov. Mayoritas ingin mengabadikan sosok mantan ketua DPR tersebut dengan menggunakan kamera masing-masing.
Dua orang berbadan tegap terlihat berada di samping Setnov. Keduanya menempel rapat-rapat tubuh mantan ketua umum Partai Golkar itu. Mereka juga membuka jalan bagi Setnov agar bisa menuju muka sidang yang disesaki pengunjung dan awak media.
Salah satu pengawal Setnov adalah Waluyo. Koordinator administrasi penuntutan KPK itu bertugas memastikan terdakwa seperti Setnov hadir tepat waktu. Tugas pokok itu dia emban sejak 2015. Dia mengoordinasi 16 pegawai KPK dengan job desk yang sama.
Sebelum menjabat posisi itu, pria yang genap berusia 50 pada tahun ini tersebut merupakan petugas waltah pertama di KPK. Di kalangan waltah KPK, Waluyo terbilang paling senior. Karena itu, meski saat ini tidak lagi menjadi waltah, untuk kasus yang menyeret tokoh-tokoh besar seperti Setnov, dia tetap menjadi andalan.
’’Masuk 2005, cuma saya sendiri (waltah KPK),’’ tutur Waluyo saat berbincang dengan Jawa Pos.
Sebelum menjadi pegawai KPK, pria berkulit sawo matang tersebut merupakan staf bagian umum di Komisi Pengawas Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Lembaga negara itu sudah dibubarkan seiring lahirnya KPK.
Menjadi waltah lembaga superbodi tidak pernah tebersit dalam pikiran Waluyo. Dia sempat ngeri saat awal-awal berurusan dengan tahanan KPK. Kala itu, Waluyo langsung bertugas menjemput tahanan kasus korupsi, baik di rumah tahanan negara (rutan), lembaga pemasyarakatan (lapas), maupun rumah pribadi.
’’Pasien’’ pertama Waluyo adalah mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh. Pada 2005, proses hukum Puteh masuk persidangan. Puteh didakwa melakukan korupsi dalam pengadaan helikopter Mi-2 merek PLC Rostov asal Rusia senilai Rp 12,6 miliar.
Nilai pengadaan itu dianggap terlalu tinggi. Sebab, sebelumnya TNI-AL membeli helikopter dengan tipe yang sama seharga Rp 6,5 miliar. ’’Waktu itu (Puteh) jarang di rutan, tapi di rumah sakit daerah Thamrin (Jakarta Pusat). Jadi, jemput di rumah sakit,’’ ungkap bapak dua anak tersebut.
’’Awalnya ngeri (mengawal tahanan KPK). Tapi, setelah kerja di situ (KPK), enjoy saja,’’ imbuh Waluyo dengan suara berat.