JAKARTA - Kegugupan pasar keuangan tidak hanya terlihat dari bergejolaknya nilai tukar. Indeks harga saham gabungan (IHSG) kemarin anjlok cukup dalam, yakni 2,4 persen, menuju level 6.079,85. Investor asing mencatat jual bersih (nett sell) Rp 1,96 triliun di seluruh pasar. Dalam sepekan terakhir, asing juga mencatat nett sell Rp 3,65 triliun.
Beberapa hari belakangan, IHSG yang merupakan barometer papan utama pasar saham di bursa Jakarta memang sering bergerak di zona merah. Saham-saham di sektor keuangan terkoreksi paling dalam dengan penurunan 4,07 persen.
Selain karena penguatan USD, jebloknya IHSG kemarin dibayangi gejolak harga minyak dunia. Dari dalam negeri, sentimen datang dari panjangnya hari libur nasional pada Juni mendatang yang mengakibatkan dana investor di pasar modal tidak berputar hingga 2 pekan. ”Saya rasa ini rekor bursa tutup selama itu tanpa ada kejadian luar biasa apa pun,” kata Dirut Bursa Efek Indonesia Tito Sulistio di Jakarta kemarin.
Ekonom The Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira menilai, pendalaman pasar keuangan sangat dibutuhkan. Sebab, ketika tertiup sentimen negatif, nilai tukar maupun indeks saham masih mudah terguncang. Akibatnya, dana-dana asing pun keluar. ”Bagaimana tidak, 40 persen dana di pasar surat utang Indonesia itu milik asing. Lalu, di saham, 60 persen milik asing,” katanya.
Dia menyarankan pemerintah dan regulator agar membuat instrumen yang terjangkau dan beragam sehingga mampu memperbanyak dana investor lokal, terutama investor ritel, untuk masuk di pasar modal dan surat utang. Sementara itu, untuk menjaga nilai tukar agar lebih stabil, BI masih kesulitan jika berharap pelaku ekspor dan impor menggunakan mata uang lain seperti baht Thailand dan ringgit Malaysia untuk berbisnis. Yang paling mungkin baru yuan alias renminbi Tiongkok yang menjadi favorit pebisnis. Sebab, likuiditasnya lebih banyak dan mudah dicari. ”Tapi, niat BI untuk mengampanyekan mata uang selain USD itu bagus, cuma efeknya masih jangka panjang sekali dalam memengaruhi permintaan USD di pasar,” urainya.
Direktur Treasury & International Banking PT Bank Mandiri Tbk Darmawan Junaid mengungkapkan, perbankan berupaya menyediakan likuiditas mata uang selain USD. Di Bank Mandiri, transaksi dalam mata uang yuan merupakan valas kedua terbesar yang difasilitasi Bank Mandiri. Pada kuartal I 2018, transaksi dengan mata uang yuan tumbuh 59 persen daripada periode yang sama tahun sebelumnya. Jumlahnya mencapai CNY 601 juta. ”Untuk diversifikasi, kami bekerja sama dengan Bank ICBC Indonesia. Sebab, kebutuhan likuiditas dan diversifikasi untuk trade finance dan non-trade finance untuk nasabah korporasi meningkat,” ujarnya.
Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo mengatakan, faktor eksternal masih sangat dominan memengaruhi pelemahan rupiah. Hal itu terjadi di tengah adanya kenaikan rating investasi Indonesia, terkendalinya inflasi Maret di 3,4 persen (yoy), dan surplus transaksi perdagangan bulan Maret. Namun, BI belum melihat perlunya pengubahan target capaian indikator makroekonomi. ”Risiko domestik dari sisi inflasi dan CAD (current account deficit) diperkirakan tidak memengaruhi pencapaian sasaran inflasi dan CAD,” katanya.
Kemarin (25/4), di pasar spot, rupiah dihargai Rp 13.921 per USD atau melemah 0,23 persen daripada hari sebelumnya (24/4). Sementara itu, berdasar kurs tengah Bank Indonesia (BI), rupiah berada di level Rp 13.888. Dalam sepekan, rupiah telah melemah 0,8 persen.
Project Consultant Asian Development Bank (ADB) Institute Eric Sugandi menuturkan, BI dan pemerintah harus waspada. ”Sebab, jika pelemahan rupiah ini trennya persisten, akan bisa menaikkan tekanan inflasi dan mengganggu pertumbuhan ekonomi,” ujarnya kepada Jawa Pos (Induk Jambi Ekspres) kemarin.
Eric menuturkan bahwa cadangan devisa memang masih cukup untuk campur tangan di pasar. Namun, jika tekanan terhadap rupiah terus berlangsung dan menembus angka Rp 14 ribu per USD, BI harus mengambil langkah pengetatan moneter.
”Saya perkirakan dalam beberapa hari ke depan rupiah masih akan bergerak pada kisaran Rp 13.800–14.000. Jika sudah tembus Rp 14.000, BI 7 day repo rate bisa saja naik pada RDG (rapat dewan gubernur) berikutnya,” imbuhnya.
Ekonom Tony Prasetiantono mengungkapkan, upaya BI untuk mengatasi depresiasi rupiah tidak hanya mengandalkan intervensi yang dari cadangan devisa. Sebab, selain kurang efektif, cadangan devisa bisa terkuras cukup banyak. Dia menilai upaya yang paling memungkinkan adalah menaikkan suku bunga acuan yang saat ini 4,25 persen menjadi 4,5 persen.
”Kalau situasi sudah kondusif, suku bunga acuan bisa dikembalikan ke level sebelumnya. Yang penting sekarang diatasi dulu depresiasi rupiah. Manfaatkan semua instrumen yang ada, termasuk suku bunga, jangan hanya mengandalkan intervensi dari cadangan devisa,” ujarnya kepada Jawa Pos kemarin.
(rin/ken/c10/sof)