Kemudian Budi juga membantah regulasi tentang operasi katarak tidak sejalan dengan program menekan angka kebutaan. ’’Kami justru memprioritaskan orang yang menuju kebutaan,’’ katanya. Bagi penderita katarakan masih masih belum parah memang tidak menjadi prioritas. Sebab patokan BPJS Kesehatan penderita katarak baru bisa ditanggung operasi matanya jika kondisi visus minimal 6/18.
Lalu Budi juga menampik BPJS Kesehatan tidak mendukung upaya keselamatan ibu melahirkan dan kelahiran bayi. Dia menjelaskan bagi bayi yang sehat, BPJS Kesehatan hanya membayar biaya persalinan ibunya saja. Tetapi bagi bayi yang lahir dengan kondisi perlu pelayanan khusus, maka diklaim terpisah dengan ibunya.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pun telah memberikan surat pernyataan agar BPJS Kesehatan mencabut Perdiyan nomo 2, 3, dan 5 nomor 2018. Namun hingga saat ini BPJS Kesehatan bergeming. Widyawati, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes, menjelaskan bahwa Kemenkes sedang mencari solusi terhadap permasalahan pelayanan kesehatan bagi peserta JKN.
Permasalahan yang dimaksud diantaranya penanggulangan defisit pembiayaan JKN dan keharmonisan regulasi pelaksanaan JKN. ”Kementerian Kesehatan bersama organisasi profesi dan perumahsakitan segera melakukan audit medik atas pelayanan kesehatan tersebut,” ucapnya kemarin saat dihubungi Jawa Pos.
Dia juga menjelaskan bahwa organisasi profesi dan perumahsakitan mendukung program JKN. Namun harus memberikan pelayanan kesehatan yang berfokus pada keselamatan pasien dan indikasi medis. ”Terkait masukan solusi keseimbangan pembiayaan JKN akan dibicarakan pada bauran revisi Perpres 12 Tahun 2013 pada pertemuan tingkat Kemenko PMK,” beber perempuan yang akrab disapa Wid itu.
Koordinator Advokasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Watch Timboel Siregar menyayangkan sikap lembek Kemenkes. ”Saya kira Menkes harus bersikap keras dan melaporkan kepada Presiden atas kebandelan direksi BPJS Kesehatan ini,” ungkapnya.
Jika PB IDI dan Kemenkes sudah tidak dihiraukan oleh BPJS Kesehatan, maka menurut Timboel Presiden lah yang harus menegur Direksi BPJS Kesehatan. Dia juga menyarankan agar Direksi BPJS Kesehatan menunda Perdiyannya. Tujuannya agar tidak berpolemik. ”Ditunggu statemen presiden,” imbuhnya.
Di sisi lain, Presiden harus membantu keuangan BPJS Kesehatan. Timboe mengatakan bahwa piutang dari mitra BPJS Kesehatan harus segera dibayarkan. Presiden bisa meminta Pemda untuk membayar iuran yang tertunggak secepatnya.
Dari sisi regulasi, Presiden harus mengevaluasi Inpres 8 thn 2017. Inpres tersebut seharusnya mengatur kerjasama antar lembaga seperti BPJS Kesehatan dan kejaksaan dalam menagih piutang iuran. Sehingga piutang BPJS Kesehatan dapat dibantu pihak ketiga untuk menarik piutang.
”Memerintahkan menkeu menaikan iuran PBI (Penerima Bantuan Iuran, Red) jadi 27.000,” sarannya lagi. Selama ini pemerintah membayar Peserta PBI sebesar Rp 25.000. Jumlah tersebut dinilai sedikit. Standarnya untuk mereka yang menempati kelas 3, membayar iuran Rp 36.000. Dengan kenaikan iuran peserta PBI itu Timboel yakin akan mengurangi defisit BPJS Kesehatan.
Dia juga mengingatkan agar setiap peraturan BPJS Kesehatan harus mempertimbangkan kebutuhan peserta. Jika tidak, maka resikonya pesertalah yang dirugikan oleh kebijakan BPJS Kesehatan.
(tau/wan/lyn)