IDI Ramai-Ramai Tolak Perdirjampel

Jumat 03-08-2018,00:00 WIB

JAKARTA - Setelah Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), giliran para dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyerukan agar Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Perdirjampel) BPJS nomor 2, 3 dan 5 tahun 2018 dicabut.

Peraturan tersebut membatasi jaminan pelayanan medik terhadap katarak, rehabilitasi medik, dan bayi baru lahir sehat. ”Kondisi defisit pembiayaan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional,Red) tidak boleh jadi alasan menurunkan mutu pelayanan,” Ujar Ketua Umum Pengurus Besar IDI Ilham Oetama Marsis kemarin (2/8).

Membacakan pernyataan sikap IDI, Ilham meminta BPJS untuk segera membatalkan Perdirjampel tersebut dan menyesuaikan semua aturan sesuai dengan kewenangannya. ”BPJS seharusnya hanya membahas teknis pembayaran tidak memasuki ranah medis,” ujarnya.

Menurut Ilham, selain merugikan masyrakat luas, Perdirjampel tersebut juga bertentangan dengan beberapa regulasi. Diantaranya adalah Perpres nomor 12 tahun 2013 pasal 22 dan pasal 25 yang menyebutkan bahwa semua jenis penyakit dijamin BPJS Kesehatan.

Perdir tersebut juga berpotensi melanggar UU 40 tahun 2004 pasal 24 ayat 3 bahwa dalam upaya efisiensi, BPJS Kesehatan seharusnya tidak mengorbankan mutu pelayanan dan membahayakan keselamatan pasien. ”Tapi BPJS tetap dapat membuat aturan tentang iuran atau urun biaya,” katanya.

Ilham menambahkan, banyak mudarat jika peraturan tersebut tetap diberlakukan. Akan sering timbul konflik antara dokter, pasien, dan fasilitas kesehatan (faskes). ”Para dokter akan rawan melanggar sumpah kode etik kedokteran. Kewenangannya  untuk mengobati diintervensi dan direduksi oleh aturan ini,” jelasnya.

Soal pembatasan pelayanan bagi bayi baru lahir juga mengkhawatirkan. Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Bhakti Pulungan mengungkapkan bahwa indonesia memiliki target sustainable development goal (SDG) pada 2030. Salah satu poinnya adalah menurunkan angka kematian anak hingga ke angka 12 kematian per 1000 kelahiran.

Sementara saat ini, posisi indonesia berada pada tren 22 hingga 23 kematian per 1000 kelahiran. Angka ini tertinggi di ASEAN. ”Dengan aturan ini, semakin sulit menurunkan angka kematian anak,” katanya.

Aman mengungkapkan, setiap bayi yang lahir, sangat rentan terhadap resiko kecacatan bahkan kematian. Untuk itu, seharusnya pelayanan terhadap bayi baru lahir harus optimal. Selain itu, negara harusnya menjamin hak hidup setiap warga negara sesuai dengan amanat UUD 1945. ”Nah ini baru lahir sudah nggak dikasih hak hidup,” ujarnya.

Senada, Ketua III Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami), Johan Hutauruk mengatakan bahwa aturan ini juga akan menghambat upaya  menurunkan angka kebutaan di indonesia. Selama ini, kata Johan, para pasien katarak rata-rata adalah masyrakat kelas bawah dan semuanya menggunakan BPJS. ”Ini kalau dihemat justru akan terjadi kerugian besar,” katanya.

Menurut WHO, angka kebutaan di indonesia baru akan turun jika indonesia mampu melakukan operasi terhadap 3.500 orang per 1 juta penduduk. Sementara tahun 2016 lalu, baru bisa dilakukan operasi katarak pada 325 ribu orang. ”Dengan aturan ini, angka kebutaan bukan tambah turun,” kata Johan.

Deputi Direksi Bidang Regulasi dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan Jenny Wihartini menjelaskan lembaganya tetap terus menjalankan tiga perdirjampel tersebut. Dia mengatakan menyimpan seluruh hasil rapat bersama organisasi profesi terkait pelayanan mata, persalinan, dan rehabilitasi medik.

Dia menjelaskan sudah berkonsultasi dengan ahli hukum. ’’Bahwa berita acara (rapat, Red) tidak bisa dibatalkan sepihak,’’ katanya. Komentar tersebut dia sampaikan terkait dengan adanya pencabutan berita acara oleh IDAI, Perdosi (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Indonesia), dan Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami).

’’(Sebaiknya, Red) yang ingin mencabut bertemu kembali. Bukan (pencabutan, Red) sepihak,’’ jelasnya. Menurut Jenny pencabutan sepihak itu menunjukkan adanya wanprestasi dari yang melakukan pencabutan.

Deputi Direksi Bidang Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan Budi Mohamad Arief membantah keluarnya tiga perdirjampel itu membuat penurunan mutu. Dia mengatakan selama ini belum ada ketetapan tentang mutu layanan terkait dengan tiga layanan tersebut. Sehingga peraturan yang berlaku sejak 12 Juli tersebut, diharapkan menjadi sebuah permulaan adanya peraturan tentang mutu layanan.

Tags :
Kategori :

Terkait