Kedua, menurunnya “nilai” guru di mata siswa. Abuddin Nata (2005:120) menulis bahwa ajaran agama dan fakta historis memberikan kedudukan yang tinggi dan terhormat kepada guru. Untuk menunjukkan penghormatan itu Asma Hasan Fahmi (1979:25) bahkan menempatkan posisi guru itu setingkat di bawah para nabi. Penghormatan serupa juga disampaikan oleh Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-din dengan menyebut bahwa seorang guru lebih baik daripada seorang yang hanya beribadah saja. Penghormatan ini menunjukkan tingginya “nilai” seorang guru. Penghormatan yang membuat generasi masa lalu tidak sanggup untuk sekedar menatap mata seorang guru.
Penghormatan yang menyebabkan para pencari ilmu zaman dulu tidak berani untuk sekedar berjalan mendahului guru. Penghormatan yang mendorong para pelajar dulu untuk selalu tunduk dan patuh tanpa reserve terhadap semua perintah guru.
Kini zaman sudah berubah. Nilai guru hari ini (tanpa bermaksud menggeneralisir) jauh merosot dari setingkat di bawah nabi dianggap tidak lebih dari sebuah profesi. Penurunan nilai ini agaknya berawal ketika negeri ini memindahkan paradigma pendidikan kita dari Timur yang full of values ke Barat yang void of value. Konsekuensinya, dunia pendidikan kita secara perlahan mengalami perubahan warna. Dari sisi keguruan misalnya, peralihan paradigma itu perlahan-lahan menggeser motivasi seseorang menjadi guru, dari ibadah yang penuh keikhlasan menjadi ikatan kontrak yang penuh hitung-hitungan.
Pendidikan yang awalnya menjadi ladang amal bermetamorfosis menjadi lahan untuk mencari penghidupan. Dari sisi hubungan guru dengan siswa, perpindahan itu juga diikuti oleh perubahan pola interaksi dari teacher centered learning menjadi student centered learning. Bila pola pertama menempatkan guru sebagai sumber utama belajar, maka pola kedua menghendaki siswa untuk memiliki sumber belajar yang bervariasi.
Bila pada pola pertama corak hubungan antara guru dengan siswa berlangsung dalam bentuk pengajar dan pembelajar, maka pada pola kedua hubungan antara guru dan siswa lebih bersifat mitra belajar. Akibatnya, tingkat ketergantungan siswa kepada guru mengalami penurunan karena siswa dapat memiliki sumber belajar yang lebih canggih. Lebih jauh, hubungan yang bersifat mitra antara guru dengan murid pada derajat tertentu bahkan telah menimbulkan perasaan superior siswa terhadap guru, apalagi ketika guru yang dihadapinya adalah guru-guru “kuno” yang gagap teknologi dan kalah canggih dibanding sumber belajar lain.
Di sisi lain, pola kemitraan yang terbangun antara guru dengan murid menyebabkan semakin menipisnya jarak antara keduanya dalam pergaulan. Sehingga pada ujungnya patut diduga bahwa implementasi yang out of control dari pola kedua ini memiliki andil dalam menggerus rasa hormat siswa kepada guru. Begitu juga halnya dari sisi orang tua. Peralihan paradigma tersebut telah mengubah persepsi orang tua terhadap guru, dari figur mulia dan terhormat menjadi tidak lebih dari “pekerja” yang memang dibayar untuk mengajar anak-anak mereka.
Akibatnya, ketika dalam proses pendidikan itu guru melakukan sedikit kesalahan atau kekerasan kecil saja, respons orang tua cenderung reaktif yang sering berujung konflik. Celakanya, sikap orang tua ini sering diterjemahkan oleh siswa sebagai dukungan yang membuat mereka semakin berani dan ngelunjak.
Ketiga, adanya absurditas dalam sistem penilaian. Dulu guru memiliki kemerdekaan dalam memberikan penilaian secara obyektif terhadap capaian prestasi siswa, tanpa ada intervensi dan ambisi kepentingan pihak tertentu. Sekarang kemerdekaan itu tersandera oleh kebijakan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang harus dicapai siswa. Kebijakan ini pada dasarnya baik karena dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan cara menakkan capaian minimal hasil belajar siswa.
Namun menjadi kontraproduktif ketika KKM itu ditetapkan secara seragam yang dipaksakan untuk dilaksanakan oleh semua sekolah. Pembuat kebijakan mungkin lupa bahwa KKM itu bukan “ditetapkan”, tapi dihitung berdasarkan sejumlah indikator yang meliputi kompleksitas, daya dukung, dan intake siswa.
Oleh karenanya, sekolah sejatinya adalah pihak yang paling mengerti untuk menghitung KKM pada materi atau mata pelajaran tertentu. Penetapan angka 75 sebagai KKM nasional oleh pemerintah dan mengaitkannya dengan kewajiban akreditasi menyebabkan sekolah-sekolah seolah berlomba untuk memberikan nilai di atas 75 kepada siswa.
Berbagai upaya dilakukan oleh sekolah untuk mencapai target ini, mulai dari menggenjot kinerja guru, belajar tambahan, remedial, hingga penetapan katrol nilai dengan standar tinggi dan fenomena pencucian rapor yang pernah ngetrend di sebagian sekolah. Dua upaya yang disebut terakhir ini merupakan cara instan yang dilakukan untuk mencapai KKM di tengah ketidakberdayaan sekolah dalam menyiapkan daya dukung yang diperlukan.
Pencapaian KKM yang dipaksakan ini memiliki dampak besar terhadap praktik pendidikan kita. Ia tidak hanya mencederai rasa keadilan terhadap siswa, tetapi juga meruntuhkan kewibawaan guru di satu sisi dan menaikkan “rasa percaya diri” siswa – hingga berkali-kali lipat – untuk meraih nilai tinggi di sisi lain. Rasa keadilan itu tercederai ketika nilai bagus sungguhan yang diraih dengan susah payah oleh seorang siswa menjadi kurang berarti ketika dihadapkan pada nilai siswa lain yang tiba-tiba menjadi bagus karena didongkrak oleh pengungkit yang berstandar tinggi.
Disini usaha dan kerja keras siswa tadi menjadi tidak dihargai. Kewibawaan guru menjadi runtuh ketika guru tidak berdaya untuk mempertahankan idealismenya saat membubuhkan angka di selembar kertas yang berisi nilai siswa. Semua nasehat, ceramah, dan petuah yang pernah disampaikan di hadapan siswa menjadi angin lalu yang berhembus pilu. “Rasa percaya diri” siswa meningkat drastis karena merasa sangat yakin bahwa nilai paling bagus sudah disiapkan guru untuk dirinya, walau tanpa kerja keras dan akhlak yang baik. Demikian tingginya “rasa percaya diri” itu sehingga siswa merasa tidak perlu lagi menyibukkan diri untuk belajar dan bersikap sopan.
Peristiwa ujian yang dulu menjadi momen mendebarkan dan harus dipersiapkan dengan baik sekarang menjadi momen biasa hampa makna. Dengan “rasa percaya diri” yang tinggi itu, seakan tanpa beban dan rasa santun siswa dengan santai penuh senyum menyaksikan wajah-wajah kusut dan kening mengerut guru-guru mereka setiap menghadapi musim ujian. Kusut dan mengerut karena pusing memikirkan strategi untuk “membantu” siswa tercinta agar bisa mendapatkan nilai tinggi.
Guru terpaksa melakukan kebohongan dan kebodohan pada sebuah kegiatan yang sesungguhnya dimaksudkan untuk menguji integritas dan kompetensi. Lucunya, kebohongan dan kebodohan itu ditujukan untuk membentuk siswa agar menjadi siswa yang jujur dan berprestasi. Benar-benar absurd, tidak bisa dicerna oleh akal sehat, dan mengkhianati tujuan luhur pendidikan itu sendiri. Tapi begitulah adanya. Semuanya untuk prestise, untuk memenuhi ambisi demi sebuah gengsi. Inilah sejumlah paradoks yang menghiasi sebagian besar wajah pendidikan kita hari ini. Kapankah ia akan berakhir? Wallahu a’lam. (Penulis adalah guru MTsN 4 Sarolangun)