Wednesday, 18 Dec 2019
Oleh: Azrul Ananda
Hari Ibu segera tiba. Tanggal 22 Desember. Saya tidak tahu, apakah ini masih jadi hari penting di Indonesia. Dan apakah ini masih sangat penting di hati para anak di Indonesia, berapa pun usianya. Mengingat mungkin masih ada hari besar di mana kedekatan dengan ibu menjadi lebih \"mahal.\" Seperti Idul Fitri. Atau Natal. Atau ulang tahun sang ibu itu sendiri.
Seumur hidup, saya sendiri termasuk yang sering \"melewatkan\" hari ibu. Kebetulan keluarga saya termasuk tidak normal. Sejak saya kecil, sangat jarang berkumpul bersama. Ayah supersibuk, kemudian saya dan adik sejak SMA sudah tidak di tanah air, setelah itu semua punya kesibukan masing-masing.
Dengan sabarnya, ibu saya adalah faktor konstan di antara semua itu.
Tahan dengan suami yang begitu sibuk dan aktif.
Tahan dengan anak-anak yang juga suka cari perkara.
Tahan dengan kehidupan suami dan anak-anak yang seperti ditakdirkan untuk tidak pernah tenang.
Kalau dipikir, cucu-cucunya juga tidak ada yang bisa duduk diam.
Kalau dipikir, ibu saya dulu juga anak pertama dari 12 bersaudara. Dengan ayah seorang tentara. Jadi, sejak dia muda pun sudah menghadapi banyak ujian. Sudah harus \"betah\" dengan segala situasi.
Saya benar-benar takjub membayangkan, betapa sulitnya jadi ibu saya.
Betapa tangguh dan tabahnya dia.
Apalagi, dia juga bukan tipe yang suka hidup bermewah-mewah. Dibelikan tas harga puluhan juta, tetap lebih suka tas \"biasa.\" Bisa belanja di supermarket paling mewah, tetap lebih bahagia belanja sendiri di pasar tradisional. Bisa makan di restoran paling mewah kapan saja, tetap lebih enjoy masak sendiri di rumah.
Dan silakan tanya kepada siapa saja yang pernah merasakan masakan ibu saya. Tidak ada lawannya!
Seumur hidup, saya mungkin bisa menghitung dengan jari, berapa kali punya \"quality time\" dengan ibu.