Ia mengaku, adalah sebuah kebanggaan tersendiri bisa menjadi anggota korps Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
Meskipun, sambungnya, jabatan-jabatan yang ia emban selama ini bukan jabatan yang bergengsi dan strategis.
“Akan tetapi tidak mengurangi rasa bangga dan syukur saya dan orang tua saya,” kata Pinangki sambil terisak.
Pinangki juga menyatakan bahwa hanya dirinya satu-satunya dalam keluarga yang berprofesi sebagai jaksa.
“Itu menjadi keteguhan saya untuk tetap mengabdi dan berbuat yang terbaik bagi korps Kejaksaan,” ungkap Pinangki.
Dengan rasa bangga itu pula, kata dia, tidak mungkin dirinya mengkhianati institusi Kejaksaan.
“Tidak mungkin saya berkhianat dengan cara menghindarkan seorang buronan untuk dilakukan eksekusi,” katanya.
Periode kesedihannya pun terjadi saat ayahnya meninggal dunia yang ia ceritakan sambil terus menangis.
Baginya, kehilangan seorang ayah adalah pukulan yang telak.
“Gegitu pun dengan keluarga atau orang tua saya hingga saya kehilangan bapak saya yang meninggal pada hari minggu lalu karena sakit,” ungkapnya.
Atas rentetan kasus yang dialaminya itu, Pinangki pun merasa bersalah dan menyesal.
“Tentu itu adalah musibah yang membuat saya merasa bersalah, menyesal,” kata dia.
Dirinya merasa belum bisa membahagiakan orang tuanya.
“Dan saya tidak bisa mendampingi hingga merawatnya saat sakit karena saya melakukan ini,” kata Pinangki.
Ia kemudian berandai-andai bisa membalikkan waktu sehingga tidak terlibat dalam kasus yang bermuara pad Djoko Tjandra.
Menurutnya, tersandung kasus Djoko Tjandra menjadi penyesalan terbesar dalam hidupnya.