Tegas, keras dan tidak mengenal Lelah. Itulah sosok seorang Suparno. Saya selalu memanggilnya Pak Parno. Satu hal yang tidak mudah dilupakan adalah senyumnya. Ia selalu tersenyum, dalam setiap tutur katanya. Itulah Pak Parno yang selalu saya kenal. Beliau orang baik, dan selalu tulus. Dan semua orang yang pernah dekat dengannya, telah bersaksi seperti itu.
Saya sudah mengenal Pak Parno semenjak ia masih menjadi reporter di Jawa Pos. Sekitar tahun 1988 an. Kala itu, Jawa Pos masih berkantor di Prapanca. Belum ada Graha Pena. Ketika itu, ia masuk dalam jajaran reporter andalan Jawa Pos. Reporter yang handal, terutama untuk liputan hukum dan kriminal.
Ketika itu adalah awal bagi saya masuk Jawa Pos. Kali pertama bertemu di kantor Jawa Pos di Prapanca. Saat Pak Parno tengah moncer-moncernya sebagai reporter. Diperkenalkan oleh almarhum Alfian Mudjani. ‘’Selamat bergabung di kawah candradimuka,’’ katanya saat itu.
Saya sebenarnya tidak mengerti betul apa yang dimaksud kawah candradimuka. Namun saya tidak berani menanyakan lebih lanjut soal itu. Saya hanya membalasnya dengan tersenyum. Seperti halnya ketika pak Parno mengungkapkan nya dengan senyum. Meski, kawah candradimuka itu simbol kekerasan. Serem !
Tapi sekilas saya bisa menangkap maksudnya. Bahwa di Jawa Pos setiap orang akan selalu dituntut untuk bekeja keras, all out. Militan. Pantang menyerah dan tanpa mengenal Lelah. Nampaknya, seperti itu yang dilakoni pak Parno.
Sebagai reporter, ia tidak saja militan. Tetapi juga gigih, dan tajam dalam mengendus isu. Sehingga ia selalu berhasil menemukan angle-angle menarik dalam setiap liputannya. Tidak mengherankan, jika ia kemudian ia masuk ke dalam jajaran reporter andalan. Dan menjadi reporter kesayangan bagi Nani Wijaya, yang kala itu menjadi pimpinan di biro Jakarta.
Jujur, sebenarnya saya tidak mengenal terlalu dalam sosok Pak Parno. Karena, setelah itu, saya tidak pernah bertatap muka lagi dengan beliau. Karena saat itu, saya meninggalkan Jakarta. Tidak lama kemudian, saya mendengar Pak Parno sudah menjadi bos di salah satu koran di Bengkulu. Anak perusahaan Jawa Pos.
Pada tahun 1992, saya diundang Pak Parno ke Bengkulu. Untuk melihat dan mengunjungi perusahaan yang ia pimpin. Koran Semarak Bengkulu. Namun, sebelum ke Semarak Bengkulu, saya diminta mampir ke Palembang terlebih dahulu. Karena saat itu, ia sedang merintis membangun koran baru Sumatera Ekspres. Dari situlah kami membangun komunikasi. Namun, dalam banyak kesempatan penting di lingkungan Jawa Pos grup saya sering bertemu, bertegur sapa, dan juga beberapa kali terlibat dalam diskusi serius bersama beliau.
Auri Jaya hadir saat Launching Sumeks.co di Palembang.
Terakhir saya diundang Pak Parno ke Palembang, dua tahun silam 2019. Ketika Pak Parno meluncurkan media digitalnya. ‘’Mas Auri, berbagi pengalaman itu sama artinya dengan berbagi ilmu. Karena pengalaman itulah sebenarnya bekal yang harus dibagikan dan ditularkan kepada orang lain. Karena pengalaman bisa menjadi ilmu bagi orang lain,” itulah kata-kata yang selalu diucapkan Pak Parno kepada saya.
Ketika itu ( kalau tidak salah ) tahun 1992. Namun ucapan itu, selalu terngiang di telinga saya. Terutama saat saya bertemu atau bertatap muka dengan Pak Parno. Dan Pak parno selalu mengundang saya untuk berkunjung ke Palembang atau Bengkulu, setiap bertemu tatap muka.
Dan jujur, memang tidak semua undangan Pak Parno bisa saya penuhi. Pertama, mungkin memang waktunya tidak pas. Atau, kadang saya menganggap undangan Pak Parno hanya basa-basi. Suatu ketika, Pak Parno mengajak saja untuk ke Palembang sekaligus ‘berbagi’ pengalaman ke Sumatera Ekspres. Karena terlalu seringnya mengajak itulah, saya sempat nyeletuk ‘’Pak Parno ini, basa-basi terus. Setiap ketemu selalu ngundang berkunjung,’’ kataku sambal tertawa.
Ternyata Pak Parno memberikan jawaban yang lebih serius. ‘’Mas Auri, saya serius. Kalau mas Auri mau tinggal di Palembang, dengan sangat senang hati saya mau berkolaborasi apa saja. Mas Auri lakukan keahliannya, saya siapkan fasilitasnya,” ungkapnya serius.
Pak Parno adalah sosok yang konsisten. Setidaknya dalam penampilannya. Sederhana. Apa adanya. Jauh dari modis. Setidaknya, sejak saya pertama kali mengenalnya tahun 1990 an hingga saya bertemu terakhir tahun 2019 lalu. Hampir 30 tahun saya mengenalnya, tidak berubah.
Suatu ketika, tahun 1992 saya pernah melakukan perjalanan dari Palembang ke Bengkulu. Naik pesawat. Tentu bersama Pak Parno. Mengenakan celana panjang hitam, dan baju kotak-kotak warna krem. Dipadu dengan sendal jepit swallow warna kuning. Kemudian menenteng tas kresek, plastik. Isinya, sepotong baju.
Memang tidak ada yang aneh. Pakaian sederhana, dan seadanya memang banyak dilakukan juga oleh bos-bos Jawa Pos saat itu. Termasuk Pak Bos Dahlan Iskan. Namun, menjadi aneh ketika kita mendarat di Bengkulu. Ternyata, di situ kita bertemu dengan seorang pejabat yang rupanya sangat mengenal Pak Parno.