Rabu 03 February 2021
Oleh : Dahlan Iskan
Demokrasi mati. Pelan-pelan. Satu per satu. Setelah Tiongkok, Vietnam, dan Kamboja kelihatannya Myanmar menyusul. Bahkan Thailand sudah lebih dulu.
Di antara negara yang saya sebut tadi memang Myanmar yang paling tertinggal. Tiongkok, Anda sudah tahu. Vietnam juga jadi buah bibir. Kamboja sekarang lagi menggeliat hebat.
Semua itu tanpa demokrasi. Atau dengan demokrasi, tapi seolah-olah.
Thailand pun, sejak kudeta terakhir, demokrasinya belum dipulihkan. Mungkin tidak akan. Toh sekarang, sekilas, sudah terlihat demokratis. Ada banyak partai. Ada Pemilu.
Apalagi di Myanmar (d/h Burma), demokrasinya masih begitu muda. Pemilu pertama pasca junta militer baru terjadi tahun 2015. Dan Pemilu keduanya baru tahun lalu. Yang hasilnya: Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (National League for Democracy/NLD) menang lagi. Bahkan lebih besar: 83 persen suara di parlemen.
Parlemen hasil Pemilu itu, menurut rencana, dilantik Senin pagi kemarin. Pelantikan itu gagal. Lima jam menjelang pelantikan tokoh-tokoh partai itu ditangkap. Pukul 04.00 tentara mendatangi rumah-rumah mereka. Untuk dibawa entah ke mana.
Termasuk yang ditangkap itu: Aung San Suu Kyi. Ia tokoh sentral politik Myanmar. Yang kini hidup menjanda, sendiri, –suami meninggal dan dua anaknyi tinggal di kota Oxford Utara, Inggris.
Dia sebenarnya bukan janda. Suaminyi adalah politik itu sendiri. Dia putri pejuang utama kemerdekaan Myanmar. Ayahnyi, Jenderal Aung San, terbunuh dua tahun sebelum Myanmar Merdeka. Saat itu Suu Kyi baru berumur 2 tahun.
Suu Kyi lantas kuliah di New Delhi, India. Lalu lanjut ke Inggris, ke Oxford University. Di usia 43 tahun Suu Kyi harus pulang ke Myanmar. Di saat yang sebenarnya kurang tepat –di tengah pemerintahan diktator militer. Tapi ibunyi sakit keras. Suu Kyi harus merawat sang ibu. Anaknyi yang masih 11 dan 14 tahun ditinggal di Inggris, bersama suaminyi Michael Aris, orang Inggris kelahiran Kuba.
Sebelum kawin, Suu Kyi kerja di PBB di New York. Tiap hari dia menulis surat ke pacarnya itu. Tahun 1972 mereka menikah dan langsung tinggal di Bhutan.
Ketika Suu Kyi untuk kali pertama pulang ke Myanmar itu, dia baru 15 tahun menikah. Suami dan dua anak ditinggal di Oxford. Ketika pun tahun 1999 sang suami meninggal, Suu Kyi masih dalam status tahanan.
Di Myanmar Suu Kyi berkembang jadi tokoh sentral perlawanan pada pemerintahan militer. Dia ditangkap. Dipenjara di rumahnyi. Sampai 21 tahun. Tapi dia tetap menjadi tokoh perlawanan –dari balik penjara.
Ketika Suu Kyi menerima hadiah Nobel perdamaian, anaknyi itu yang mewakili. Termasuk berpidato atas nama sang ibu.
Perjuangan Suu Kyi akhirnya berhasil. Dunia Barat mendukungnyi. Pemerintahan militer menjanjikan Pemilu pertama secara demokratis pada 2015.