Cuitannya Direspon Bu Susi, Prof Henry Subiakto: Mengapa Saya Seakan Tidak Boleh Berpendapat?

Sabtu 06-02-2021,00:00 WIB

JAKARTA – Cuitan guru besar Unair, Prof Henry Subiakto yang menyebut ada tokoh yang tidak tamat sekolah tapi jabatannya melambung dan perusahaanya untung, direspon banyak orang.

Banyak yang mendukung cuitan Prof Henry, tapi tak sedikit pula yang mencela. Bahkan, Henry dianggap menghina mantan Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Susi Pudjiastuti yang tidak lulus SMA.

Susi Pudjiastuti pun meresponnya dengan membagikan tangkapan layar cuitan Henry. Bu Susi menyampaikan salam kenal kepada Henry.

 

Gara-gara cuitan itu, Henry dihujat, disebut sebagai buzzer bayaran hingga dianggap penjilat.

Meski dihujat, Staf Ahli Menteri Kominfo Bidang Hukum itu tetap santai. Ia menganggap cacian warganet adalah bagian dari kebebasan berpendapat.

Meski begitu, Henry mengingatkan bahwa kebebasan berpendapat ada batasnya, tidak boleh melanggar hukum.

“Bagi saya kebebasan berpendapat itu penting dan merupakan syarat demokrasi untuk menciptakan keadaan yang bisa saling kontrol, antar elemen bangsa. Dengan Kebebasan Berpendapat, pemerintah dan masyarakat bisa jadi makin cerdas, makin dewasa, bijak dan hati hati dalam bertindak,” kata Henry, dikutip dari akun Facebooknya, Sabtu (5/2).

Henry menegaskan bahwa cuitannya tentang ‘tokoh yang tidak tamat sekolah tapi jabatannya melambung dan perusahaanya untung’ tidak melanggar hukum.

Ia pun menjelaskan panjang lebar tentang cuitannya tersebut. Berikut ini penjelasan lengkapnya.

“MENGAPA SAYA SEAKAN TIDAK BOLEH BERPENDAPAT?”

Saya ini dosen pemegang mata kuliah Komunikasi Politik, sejak dulu sebelum reformasi hingga sekarang ikut menyuarakan pentingya kebebasan berpendapat. Baik pada saat ngajar, saat nulis maupun saat aktif di LSM. Dulu kami punya program siaran radio rutin membahas persoalan komunikasi di Suara Surabaya FM dan Merkury FM hingga jaringan Smart FM di Jakarta. Ada juga Kolom Mingguan di Koran Surabaya Post yg harus saya isi, selain aktif nulis di Kompas, Jawa Pos dan lain lain. Bagi saya kebebasan berpendapat itu penting dan merupakan syarat demokrasi untuk menciptakan keadaan yg bisa saling kontrol, antar elemen bangsa. Dengan Kebebasan Berpendapat, pemerintah dan masyarakat bisa jadi makin cerdas, makin dewasa, bijak dan hati hati dalam bertindak.

Tapi tentu saja kebebasan berpendapat ada batasnya, dan tidak boleh sampai melanggar hukum. Tidak boleh menghina atau mencemarkan nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal. Tidak boleh mensyiarkan kebencian, atau mengajak orang lain untuk membenci, atau memusuhi seseorang atau kelompok orang berdasarkan SARA. Itu larangan hukum positif.

 

Namun sekarang ini, pada saat masyarakat makin memperoleh kebebasan karena adanya teknologi komunikasi serta sistem politik yang lebih demokratis dan terbuka, ternyata masyarakat justru menjadi begitu sensitif, mudah bereaksi keras terhadap pendapat yg berbeda. Khususnya kalau pendapat itu tidak menyenangkan atau berseberangan dengan yg diinginkan mereka. Terlebih pendapat itu berasal dari orang yg punya predikat dan identitasnya yg jelas. Tak pelak munculah reaksi reaksi yg kadang berlebihan. Tiap muncul pendapat, muncul pula kegaduhan dari dua belah pihak yg terbentuk karena politik nasional yg sempat memanas sejak 2014 dan Pilpres 2019. Keterbelahan masyarakat di medsos yang pro kontra diramaikan dengan fenomena akun-akun dan media abal abal yg banyak diternak untuk kepentingan perang komunikasi.

Jadinya semua isu politik di medsos menjadi sensitif. Kalau ada pendapat yg tidak menyenangkan langsung diserang, dibully, dibilang buzzer bayaran, bahkan kadang dilaporkan ke polisi, padahal sering isinya tidak ada unsur pelanggaran hukum. Tapi di medsos digalanglah opini untuk menghukum.

Tokohpun kadang ikut ikut sensitif menghadapi dinamika perbedaan pendapat ini. Saya sebagai pengajar dan penyeru kebebasan berpendapatpun seakan jg dibatasi oleh sensitivitas berdasar kebenaran semu itu. Sekarang restriksi kebebasan berpendapat muncul justru dari sensitifitas sosial. Fanatisme Sosial, baik terhadap orang ataupun terhadap kelompok. Siapapun akan diserang jika tidak sepikiran, atau sepihak, itu berlaku untuk siapapun, termasuk saya. Pendapat dan kritik yang sebenarnya hal biasa langsung direaksi keras dan beragam. Beberapa kali ini terjadi, tapi bagi saya itu menjadi pelajaran agar tetap melontarkan pendapat pendapat yang menggelitik, kadang sengaja saya lakukan untuk melihat reaksi dan sensitifitas netizen. Sekaligus bagian dari perjuangan mempertahankan hak untuk bisa terus berpendapat tanpa tekanan dari siapapun.

 
Tags :
Kategori :

Terkait