Senin, 08 February 2021
Oleh : Dahlan Iskan
KALAU saja tidak terkena Covid-19 mungkin saya tidak kenal istilah ini: D-dimer.
Tentu saya sudah ratusan kali memeriksakan darah. Tapi baru di saat terkena Covid Januari lalu itu unsur D-dimer darah saya diperiksa: 2.600.
Saya bersyukur tim dokter memasukkan D-dimer ke dalam daftar yang harus dicek. Lalu ketahuanlah angka 2.600 tersebut. Kelewat tinggi. Normalnya, maksimum 500.
Pembicaraan soal D-dimer ini ramai minggu lalu. Yakni ketika seorang pasien Covid-19 di Semarang meninggal dunia. Justru setelah 10 hari dinyatakan Covid-nya negatif. Sudah double pemeriksaan –negatif terus.
Ternyata saya kenal almarhum: Santoso Widjaya. Umur 63 tahun. Kontraktor listrik. Rekanan PLN sejak zaman dulu.
Tanggal 9 Desember 2020, Santoso terkena Covid. Ia dimasukkan RS besar di Semarang. Tanggal 21 Desember dinyatakan sembuh. Hasil swab test-nya negatif. Lalu diswab lagi: tetap negatif.
\"Suami saya itu tidak pernah sakit. Tidak pernah masuk rumah sakit,\" ujar Swanniwati, istrinya. \"Ya baru sekarang ini berurusan dengan rumah sakit. Meninggal,\" kata Swanniwati.
Saya menelepon Swanniwati kemarin. Sehari setelah dia tampil di CNN Indonesia. Swanniwati menceritakan semua yang dialami suami. Kini Swanniwati memang ingin agar jangan ada orang lain senasib dengan suaminyi. Yakni meninggal justru setelah dinyatakan sembuh dari Covid-19.
\"Pokoknya memeriksakan D-dimer itu penting. Biar pun sudah dinyatakan sembuh dari Covid. Bisa saja masih terjadi pengentalan darah,\" ujar Swanniwati.
Itulah yang dialami suami Swanniwati. Sang suami sebenarnya minta pulang tanggal 22 Desember itu. Dokter juga sudah membolehkan. Tapi sang istri minta agar sang suami tidak perlu pulang dulu. Bereskan dulu sakit lain akibat Covid.
Kebetulan, tanggal itu, Swanniwati sendiri masih di rumah sakit. Dia sengaja opname satu minggu. Dia pilih opname di rumah sakit di luar kota Semarang. Di Mranggen. Masuk Kabupaten Demak, sebelah timur Semarang.
Swanniwati pilih rumah sakit itu karena kenal pemiliknya. Sang teman sebenarnya tidak menyarankan Swanniwati opname. Keadaannyi baik. Tidak ada keluhan. Tapi dia ingin lebih sehat. Setelah suami dan dua anaknyi terkena Covid.
Tanggal 22 Desember itu, ketika Santoso dinyatakan sembuh dari Covid, Swanniwati opname di Mranggen. Lalu sang suami dipindah ke lantai atas –untuk pasien yang non-Covid. Ia ingin dokter menyembuhkan sisa infeksi di paru-parunya –akibat Covid.
Keesokan harinya, Santoso justru sulit bernafas. Tiba-tiba saja. Sampai harus dimasukkan ke ICU non-Covid. Dipasangi ventilator.