Dia menjelaskan, meja besi itu adalah wajan. Lalu, kotak di atasnya merupakan tempat pembuangan asap. ”Di ruang ini, asap tidak boleh menyebar,” tegas dia.
Maklum, ruang dalam kapal selam berukuran sekitar 15 x 2 meter. Oksigen juga terbatas. Awak buah kapal yang bertugas memasak sudah paham. Mereka sudah terlatih memasak dengan meminimalkan asap dari wajan tersebut. ”Kompornya juga elektronik. Jadi, tidak ada pembakaran,” ujarnya.
Saat saya masih takjub dengan kondisi di sekitar ruangan itu, Suraji tiba-tiba berjongkok. Dia menarik lantai dapur yang terbuat dari lempengan besi. Saat lempengan itu dibuka, tampak dua lemari di bawah ruangan tersebut. ”Itu tempat bahan makanan dan lemari es,” terangnya.
Kapal Selam KRI Nanggala-402 saat di pangkalan Ujung, Surabaya pada 2012. Pada Rabu (21/4), kapal selam buatan Jerman itu dikabarkan menghilang di Utara Bali. (Dite Surendra/Jawa Pos)Lorong itu hanya cukup dimasuki satu orang. Saya berpikir, pola kehidupan di kapal selam harus dipenuhi rasa kekeluargaan. Ruangan sempit dan antarawak buah kapal harus saling membantu. Mereka harus saling menjaga emosi.
Selesai melihat dapur, Suraji ganti menunjukkan lemari pada sisi kanan. Ruangan ini agak lebar. Sekitar 200 x 40 sentimeter. Ruangan tersebut adalah tempat tidur untuk komandan kapal. Suraji tidak menjelaskan lebih lanjut ruang kamar tersebut. Dia lalu menunjukkan kotak menyerupai lemari yang berada sejajar dengan ruang dapur. Saya melihat ke dalam ruangan itu dan langsung bisa menebak. Ada kloset dan shower di ruangan tersebut. ”Ini kamar mandi,” ujarnya.
Tapi, kamar mandi di kapal selam tidak seperti kapal permukaan. Bisa jadi, kamar mandi hanya digunakan untuk buang air kecil dan besar. Itu pun kalau sudah tidak mampu menahannya. Maklum, ketersediaan air kapal selama berlayar sangat terbatas.
Selesai menjelaskan lorong, Suraji mengajak ke tempat paling ujung. Ruangan ini relatif besar. Banyak perangkat elektronik. Itu ruang kemudi. Ada beberapa layar monitor, ruang periskop, dan ruang kontrol kemudi.
Di ruangan itu juga terdapat meja untuk berkoordinasi terntang perencanaan perjalanan, kondisi arus, dan beragam permasalahan lainnya. Suraji tidak menjelaskan lebih detail karena itu merupakan rahasia internal awak kapal tersebut.
Saya bertanya tentang ruangan di bawah. Suraji mengatakan hanya untuk mesin, baterai, gudang makanan, dan tempat penyimpanan lainnya. Tidak ada ruang untuk awak buah kapal. Penghuni kapal berada di bagian tengah atau yang saya tempati kala itu.
Lalu, di mana mereka tidur? Suraji mengajak saya kembali ke ruang semula. Yakni, ruang makan. Dia menunjukkan lipatan papan yang menempel pada dinding. Ditariknya lipatan itu sehingga membentuk papan data bertingkat. ”Awak buah kapal tidur di sini,” ungkapnya.
Tempat tidur itu hanya cukup ditempati 20 orang. Padahal, awak buah kapal berjumlah lebih dari 40 orang. Suraji menyatakan bahwa jam tidur digilir. Sebagian tidur, sebagian berjaga. Itu bergantian selama berlayar.
Lalu, bagaimana membedakan malam dengan siang? Suraji menunjukkan lampu pada salah satu atap ruangan tersebut. Lampu itu berwarna merah. Lampu menyala saat siang dan mati saat malam.
Saya sempat nyeletuk, apakah bisa ibadah salat berjamaah? Terutama salat Jumat. Sebab, dibutuhkan tempat yang luas. Suraji tersenyum. Dia lalu memanggil dua rekan di dalam kapal tersebut. ”Bantu saya melipat semua partikel,” pintanya.
Mereka lantas melipat partikel di ruangan tersebut. Pembatas kamar, dapur, meja, dan tempat tidur, semua dilipat. Saya terkejut. Sekat-sekat itu menyingkir sehingga ruangan tampak lebih luas. ”Kami beribadah bersama di ruangan ini,” ujarnya.
Suraji menegaskan, pelayaran kapal selam lebih berisiko. Awak buah kapal selalu pasrah. Kalau ada gangguan dengan kapal, sulit mendeteksinya. Sebab, kapal berada di bawah permukaan laut. Tidak tampak.