SURABAYA — Wartawan Jawa Pos THORIQ S. KARIM dan fotografer DITE SURENDRA pernah diizinkan melihat langsung bagian dalam KRI Nanggala pada 2012. Mengunjungi ruangan demi ruangan dan menyaksikan gambaran keseharian di dalamnya. Berikut petikan ulang cerita dan foto mereka.
—
KAPAL selam lebih tertutup daripada kapal permukaan. Untuk bisa masuk, kami harus mengantongi izin dari pimpinan. Begitu pula untuk mengambil gambar. Harus ada izin dan mesti didampingi anggota TNI Angkatan Laut (TNI-AL) yang ditunjuk. Saat itu kami didampingi Sersan Mayor (Serma) Suraji. Dia sudah 24 tahun menjadi bagian di Satuan Kapal Selam Koarmatim (sekarang Komando Armada II) buatan Jerman tersebut.
Cara masuk kapal selam berbeda dengan kapal permukaan. Kami ingat betul, kalimat yang kali pertama diucapkan Suraji adalah siapkan mental. ”Jangan dibayangkan seperti kapal perang yang biasa dilihat orang,” ungkapnya kala itu.
Pengalaman tersebut kami rasakan ketika KRI Nanggala-402 masih bersandar di dermaga Koarmatim (sekarang Komando Armada II) di Tanjung Perak, Surabaya. Pintu masuk berada pada bagian punggung kapal yang dibuat pada 1977 tersebut. Suraji mempersilakan saya masuk lebih dulu.
Ruang pintu itu berbentuk elips. Diameternya sekitar 50 sentimeter alias hanya cukup untuk satu tubuh orang dewasa. Dindingnya terbuat dari besi. Karena itu, perlu berhati-hati saat naik atau keluar dari kapal melalui lorong tersebut. Salah sedikit, tubuh bisa terbentur dinding yang terbuat dari besi.
Kala itu kami membayangkan, pada kondisi darurat, awak buah kapal harus tenang. Pintu keluar hanya cukup dilewati satu orang. Penyelamatan diri harus ekstrasabar. Selain itu, awak buah kapal harus mengatur siasat waktu muncul ke permukaan air agar tidak mengalami dekompresi. Cukup berisiko.
Perlahan, kaki kami menuruni tangga di lorong pintu masuk tersebut. Kami menuruni sekitar 10 anak tangga. Lalu, berganti ke tangga lainnya. Dari atas, Suraji memberi aba-aba. ”Tangga satunya untuk masuk ke dalam,” ujarnya.
Kami pun mengikuti instruksi tersebut. Anak tangga berikutnya tidak sampai ke lantai. Hanya menggantung. Selesai menginjak anak tangga terakhir, kaki saya arahkan ke lantai. Selanjutnya, saya menunggu Suraji yang menyusul masuk kapal itu.
Untuk kali pertama, saya masuk ke ruang kapal selam. Memang benar yang diungkapkan Suraji. Harus siap mental. Saya bagai berada di lorong lemari. Tak lama, Serma Suraji sampai di dalam kapal. Dia melihat raut muka saya yang agak aneh. Dia hanya tersenyum. ”Coba tebak ini ruangan apa?” tanyanya saat itu.
Ruangan yang dimaksud adalah tempat saya memijakkan kaki kali pertama di ruangan tersebut. Spontan, saya menjawab bahwa itu ruang tamu. Dia tidak membenarkan. ”Ini ruang makan,” jawab dia.
Luasnya 50 x 100 sentimeter. Sepintas, tidak ada meja di ruangan tersebut. Suraji lalu menarik papan yang menempel di dinding kapal tersebut. Sekali tarik, papan itu sudah menjadi meja. ”Nah, ini mejanya. Awak buah kapal sering melepas penat di ruangan ini,” jelasnya.
Suraji lantas mengajak kami menuju ruang berikutnya. Seperti memasuki lorong dengan lemari di kanan dan kiri. Panjang lorong itu hanya 4 meter. Lebarnya tidak lebih dari 40 sentimeter. Kalau ada awak buah kapal yang bersimpangan, keduanya harus memiringkan badan.
Suraji membuka salah satu benda yang menyerupai lemari pada sisi kiri. Luasnya tidak lebih dari 1 meter persegi. Ada meja dari besi. Di atasnya terdapat kotak yang menyerupai tabung. ”Ini ruang dapur,” ucapnya.