BENGKULU — Sudah jatuh ditimpa tangga. Begitulah peribahasa yang dapat dialamatkan kepada MS, 19, siswi SMA Negeri 1 Benteng, Bengkulu. Setelah tindakannya yang mengunggah video di Tiktok yang bernada minor terhadap Palestina mendapat tindakan tegas dari sekolah, kini dia mengalami perundungan (bullying) di lingkungannya.
“Kami terus memantau kondisi anak ini. Kondisi terakhir yang kami dapatkan, yang bersangkutan mendapatkan stigma dan perundungan (bullying) dari lingkungan sekitarnya. Sehingga, tidak berani keluar rumah,” ujar Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Nahar, Jumat (20/5).
Sebelumnya, MS dikeluarkan dari sekolahnya, SMA Negeri 1 Benteng. Kepala SMA Negeri 1 Benteng Eka Syaputra mengklaim hanya mengembalikan pembinaan terhadap MS kepada orang tua.
Akan tetapi sikap dari sekolah disayangkan Nahar. Menurut dia, mengeluarkan MS dari sekolah adalah tindakan yang salah. Sikap itu sama saja merampas hak MS untuk mendapat pendidikan yang layak. “Hak anak atas pendidikan merupakan hak dasar. Kesalahan yang diperbuat anak tidak boleh sedikit pun mengurangi haknya,” jelas Nahar.
Dia menyebut, anak yang mendapat perlakuan salah merupakan salah satu kategori anak yang membutuhkan perlindungan khusus (AMPK). Hal itu tercantum dalam pasal 59 Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
“Mengeluarkan anak dari sekolah adalah salah satu bentuk pelepasan tanggung jawab sekolah atas kesalahan anak. Seharusnya jika anak melakukan kesalahan, maka tugas sekolah dan orang tua membinanya secara lebih intensif, bukan malah melepaskan tanggung jawab,” imbuhnya.
Kini KemenPPPA telah berkoordinasi dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) Provinsi Bengkulu. Koordinasi itu untuk mengetahui perkembangan kasus dan memantau informasi terkini tentang MS.
DP3APPKB diminta untuk melakukan peninjauan dan pendampingan kepada anak yang bersangkutan. Dari hasil peninjauan itu, diinformasikan bahwa MS mendapat perundungan atau bullying.
“Kami terus memantau kondisi anak korban ini. Kondisi terakhir yang kami dapatkan, anak yang bersangkutan mendapatkan stigma dan perundungan (bullying) dari lingkungan sekitarnya, sehingga tidak berani keluar dari rumah,” tambahnya.
Nahar memastikan tetap melakukan pendampingan terhadap orang tua dan anak. Lebih dari itu, memastikan MS tetap bisa melanjutkan pendidikannya. Proses asesmen juga tetap dilakukan untuk mengetahui kondisi psikologis anak atas perundungan yang didapatkan.
“Upaya advokasi untuk pemenuhan hak anak atas pendidikan agar anak yang bersangkutan tetap bisa melanjutkan sekolah juga dibantu oleh Fasilitator Nasional Sekolah Ramah Anak (Fasnas SRA) Provinsi Bengkulu,” tegas Nahar. (*)
Sumber: www.fajar.co.id