JAMBIEKSPRES.CO.ID-Siapa yang tidak kenal mobil Tesla. Salah satu produk mobil listrik yang paling canggih buatan Amerika.Tapi banyak orang yang tidak tahu, salah satu insinyurnya orang Indonesia.
Namanya, Moorissa Tjokro. Posisi lulusan Georgia Institute of Technology dan Columbia University itu tidak sembarangan, dia adalah Autopilot Software Engineer atau insinyur perangkat lunak autopilot di kantor pusat Tesla di San Francisco, California, AS.
Autopilot adalah salah satu kecanggihan mobil yang telah dikembangkan Tesla sejak lama. Sistem ini membuat mobil yang dikendarai tak perlu lagi sepenuhnya dikontrol sopir, diganti komputer berbasis sensor dan radar yang sanggup mendeteksi, menganalisa, kemudian mengambil keputusan di jalanan.
“Jadi sebagai Autopilot Software Engineer yang kami lakukan mencakup seperti gimana sih mobil itu dapat melihat dan mendeteksi lingkungan sekitar. Kemudian bermanuver ke kanan dan kiri, evaluasi serta testing,” kata Moorissa mengutip pemberitaan VOA Indonesia yang dilansir dari CNN.
“Ini penting jadi bikin sistem seaman mungkin buat mobil Tesla. Jadi sebelum diluncurkan itu kami selalu testing untuk menghitung risiko-risiko agar semua aman,” tambahnya.
Moorissa tidak bekerja sendiri, ia bersama rekan satu tim bekerja mengembangkan dan meningkatkan sistem kemudi untuk mobil listrik Tesla.
Ia juga terlibat langsung pengembangan sistem full self driving di mobil Tesla, yang merupakan sistem otonom level lima atau level tertinggi yang membuat mobil dapat dikendarai tanpa campur tangan manusia sepenuhnya.
Morissa menuturkan pekerjaan di Tesla ini dianggap paling sulit selama ia berkiprah sebagai insinyur.
“Beberapa minggu lalu saya ditarik untuk bekerja bikin full self driving atau autonomous sistem level lima, jadi kita tidak perlu injak gas atau rem, bisa menikung, terus tidak hanya bisa digunakan di jalan tol saja. Jadi mobilnya kerja sendiri. Dan ini benar-benar susah banget,” katanya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, profesinya itu juga dikatakan tidak hanya menguras pikiran, melainkan juga waktu. Ia bisa bekerja 60 hingga 70 jam selama sepekan.
“Ya kerja jadi lebih banyak dari jam 10 pagi sampai 12 malam itu biasa. Di tim saya di autopilot 60-70 jam seminggu itu sangat normal,” katanya.
Jumlah wanita yang memiliki gelar sarjana bidang teknik daam 20 tahun terakhir memang dinilai meningkat, namun berdasarkan data National Science Foundation di Amerika Serikat menyatakan jumlahnya masih berada di bawah insinyur laki-laki.
Organisasi nirlaba American Association of University Women yang bergerak memajukan kesejahteraan perempuan melalui advokasi, pendidikan, dan penelitian juga menyebut jumlah perempuan yang bekerja di bidang STEM hanya 28 persen.
Organisasi itu juga menyatakan kesenjangan gender masih tinggi pada beberapa pekerjaan dengan pertumbuhan tercepat dan dengan gaji yang tinggi pada masa depan, seperti di bidang ilmu komputer dan teknik atau engineering.
Hal tersebut dibenarkan Morrissa. dia berkata di dari 100 insinyur di Tesla hanya ada enam wanita.
“Di tempat saya ada enam orang dari 110 engineer dan dua produk manajer. Saya tidak tau statistik di luar atau di luar Tesla. Tapi 3-4 persen di otomotif mungkin sangat rendah,” ucap dia.