Kamis 01 July 2021
Oleh : Dahlan Iskan
INI bukan soal meme mahasiswa BEM UI dan UGM. Itu sangat serius. Ini soal sepele: soal gajah tanpa Mada.
Gajah-gajah itu meninggalkan kampus mereka. Pertanyaannya: ke mana rombongan gajah itu akan pergi. Mengapa mereka pergi. Lebih serius lagi: apakah ada represi di kampus mereka sehingga mereka pergi.
Jumlah rombongan gajah itu 15 ekor. Mereka terus berjalan beriringan ke arah utara. Pemerintah komunis Tiongkok tidak merepresi mereka. Gajah-gajah itu dibiarkan saja. Ke mana pun mereka melangkah tidak dihalangi.
Pemerintah hanya memonitor pergerakan itu. Termasuk dari udara. 24 jam sehari. Dengan teknologi modern. Termasuk mengerahkan 14 buah drone.
Dari drone itu filmnya diunggah secara live. Disiarkan luas oleh medsos. Jadilah tontotan serial live yang mendemamkan di masyarakat. Tiap saat siaran live ini menjadi gunjingan di medsos.
Begitu jauh mereka melangkah. Sampai HUT ke-100 Partai Komunis Tiongkok tanggal 1 Juli, sudah 500 Km rombongan gajah itu melakukan perjalanan.
Lebih sebulan lalu mereka meninggalkan habitat asal di dekat perbatasan Myanmar. Menuju Utara. Terus ke Utara.
Siaran live itu berubah menjadi menegangkan ketika 15 gajah tersebut mendekati area perkampungan penduduk. Kian dekat. Tambah dekat. Ada kekhawatiran: jangan-jangan mereka akan mengamuk di kampung itu.
Berdasar siaran pergerakan itu pemerintah memberi tahu penduduk kampung. Terutama kampung yang jadi sasaran kabilah gajah. Mereka diminta mengungsi. Mereka dilarang mengganggu. Apalagi melawan. Gajah adalah salah satu binatang yang membahayakan.
Sebagian penduduk mengungsi. Sebagian lagi tetap di rumah. Tetap bertani. Kampung itu di pegunungan. Di pinggir hutan. Kalau harus mengungsi jaraknya dengan kampung sebelah cukup jauh. Juga naik turun gunung.
Rombongan gajah itu akhirnya benar-benar memasuki kampung. Petani setempat tidak takut. Mereka justru menyiapkan makanan untuk gajah: nanas, jagung, dan sayuran.
Banyak sekali nanas di kawasan itu. Saya pernah melihat potensi nanas di kawasan dekat perbatasan Myanmar itu. Di Kabupaten Xi Shuang Banna –wilayah paling Selatan provinsi Yunnan, Tiongkok. Ada pabrik jus nanas di situ.
Di kampung itu tidak terjadi apa-apa. Tidak ada gajah mengamuk. Mereka merasa sudah sangat kenyang.
Saya ingat ketika memberangkatkan rombongan Bonek ke Jakarta dulu. Yang mengamuk karena lapar. Mereka tidur nyenyak di perjalanan berikutnya karena disediakan nasi bungkus yang cukup.
Setelah kenyang rombongan gajah itu ke kolam pertanian. Mereka masuk ke air. Gembira ria di kolam berlumpur itu. Sawah petani banyak yang rusak secara tidak sengaja –dinjak-injak gajah di sepanjang perjalanan ini.
Melihat wajah-wajah petani di situ saya ingat profil orang Dayak di Kalimantan. Ada kemiripan. Suku-suku asli di pegunungan Yunnan memang bukan suku Han –yang merupakan 80 persen penduduk Tiongkok. Suku Manchuria yang besar itu pun kini sudah hilang. Praktis sudah menyatu dan membaur dengan suku Han. Yang masih sedikit lebih eksis adalah suku Mongol yang di provinsi Mongolia Dalam. Tapi mereka juga sudah kian menyatu dengan suku Han.
Suku-suku asli pedalaman Yunnan ini banyak yang berani mendekat ke gajah. Memberi mereka makanan. Tidak terlihat ada konflik antar manusia dan gajah di sana.
Tapi rombongan gajah itu terus berjalan ke utara. Kali ini agak serong ke timur. Netizen yang secara live terus mengikuti perjalanan itu mulai khawatir: gajah-gajah itu mengarah ke kota. Yakni kota pegunungan, Yuxi. Yang berpenduduk 2,5 juta jiwa.
Polisi mulai dikerahkan ke kota Yuxi. Penduduk diingatkan untuk tidak mengganggu mereka. Biarlah mereka melangkah ke mana suka.
Benar, gajah-gajah itu masuk kota. Warga kota banyak yang nonton ke jalan yang akan dilalui gajah –sesuai dengan arah di siaran langsung dari drone. Polisi menutup jalan kota yang dilalui gajah. Seluruh negeri pun kian demam gajah: ada sejumlah gajah liar masuk kota. Petugas mengarahkan secara tidak langsung agar mereka meninggalkan kota.
Mereka pun terus menuju Utara. Memasuki pedesaan lagi. Pegunungan lagi. Tapi kalau rute itu ditarik terus ke Utara akan sampai ke kota besar: Kunming. Ibu kota provinsi Yunnan. Hampir sebesar Jakarta. Dengan gedung pencakar langit lebih banyak dari Jakarta.
Apa jadinya kalau gajah-gajah itu masuk Kunming. Mengapa pula mereka ingin ke kota metropolitan. Akan kian banyak orang kota yang menontonnya secara langsung. Orang kota besar dikhawatirkan kurang bersahabat dengan binatang liar. Misalnya: jangan-jangan ada yang mencoba iseng memberikan McDonalds ke gajah-gajah itu.
Benar saja. Rombongan gajah ini masuk kota Kunming. Gempar. Kian banyak yang menonton siaran langsung dari drone. Komentar-komentar di internet kian gila. -meme kian aneka macam.
Selamat. Tidak ada yang mengganggu mereka. Sepanjang pinggir jalan penuh dengan penonton kota. Tidak ada yang merasa terganggu. Tim pengawal gajah ini memang membawa bertruk-truk penuh makanan gajah. Barisan truk makanan itu terus mengawal barisan gajah. Sambil mengarahkan mereka untuk meninggalkan kota Kunming.
Berhasil.
Mereka terus ke arah utara. Seorang wartawan mendekat ke gajah. Wartawan itu mewawancarainya: ke mana tujuan akhir kalian? Tidak ada jawaban. Mengapa kalian meninggalkan hutan? Tidak ada jawaban.
Hari ke-16 mereka sudah meninggalkan kota Kunming. Masuk pedesaan. Masuk daerah pertanian. Naik pegunungan.
Salah satu di antara rombongan melahirkan di perjalanan ini. Anaknya selamat. Ibunya selamat. Sejak itu terlihat ada tiga bledug –anak gajah– dalam rombongan itu.
Anak-anak gajah itulah yang paling menarik penonton live. Misalnya ketika rombongan itu memutuskan untuk tidur. Ternyata mereka menempatkan anak gajah di tengah gajah dewasa. Bahkan terlihat ada anak gajah yang akhirnya memilih tidur di atas gajah dewasa.
Sampai kemarin masih belum tahu ke mana tujuan akhir mereka. Sudah 500 Km jarak tempuh perjalanan mereka. Hanya sedikit ada harapan: kemarin mereka mulai melengkung ke arah selatan lagi.
Di tengah harapan itu ada kejadian aneh: salah satu gajah dewasa memisahkan diri dari rombongan. Jantan. Ia berjalan ke arah yang berbeda. Awak drone pun dibagi dua. Ada yang terus mengikuti pergerakan rombongan besar. Ada pula yang khusus mengikuti gajah mufarraqah itu. Kini gajah yang memisahkan diri itu sudah berada di 50 Km lebih jauh.
Sudah lebih sebulan mereka berjalan-jalan ke utara. Tetap tidak terjawab mengapa.
Padahal tidak ada kerusakan di taman nasional dekat Xi Shuang Banna. Pemerintah Tiongkok serius melindungi mereka. Bahkan memperbanyak jumlah mereka.
Di tahun 1980, jumlah gajah liar di sana tinggal 170. Sekarang sudah menjadi 300 –tepatnya 297. Kalau yang lahir di perjalanan itu dihitung sudah tambah satu lagi.
Di utara taman nasional untuk gajah ini adalah wilayah provinsi Sichuan. Di situlah panda dilindungi dan dibuat berkembang biak.
Di antara analisis ilmiah perjalanan gajah ini, ada yang serius berpendapat: tidak tertutup kemungkinan mereka hanya salah arah saja. Itu akibat pemimpin mereka yang kurang pengalaman. (Dahlan Iskan)