Setelah kedatangan Ginanja yang tiba – tiba, Sarah cukup malu dengan sebutan Ginanja padanya, Pujaan Hati. Mungkin sudah ada dua setengah tahun jika Sarah tidak salah mengingat hubungannya dengan Ginanja berjalan, selama dua setengah tahun itu, Sarah selalu mendapat sebutan ‘Pujaan Hati’ dari Ginanja, namun tetap saja Sarah tidak terbisa, kapapun Sarah mendengarnya Sarah akan merasa panas di seluruh tubuhnya terutama wajahnya dan Sarah juga akan merasa gejolak geli serta senang di perutnya, mudahnya katakan saja Sarah malu pada Ginanja.
“Tumben ke kota?” tanya Sarah di boncengan motor Ginanja. Sore itu, Ginanja memutuskan untuk berjalan – jalan bersama Sarah, walau tidak lama, waktu yang mereka habiskan berdua cukup berarti.
“Memangnya kenapa? Tidak senang ya aku ke kota?” Tanya Ginanja balik, Sarah memukul bahu Ginanja, “Kebiasaan, tiap ditanya, nanya balik terus!” Protes Sarah dengan wajah cemberut.
“Iya, Iya,” Ginanja mengalah, “Tadinya, mau nyari kerja,” Jawab Ginanja.
“Udah ketemu?” tanya Sarah, “Nggak,” Jawab Ginanja pelan dengan gelengan kepala.
“Gapapa, nanti cari lagi.” Hibur Sarah yang dibalas anggukan oleh Ginanja.
“Mau kemana?” tanya Ginanja, “Terserah aja.” Jawab Sarah.
“Angkringan aja ya, uangnya nggak banyak soalnya.” Jujur Ginanja. Mendengar perkataan Ginanja, Sarah mengulas senyum tipis. Sarah tahu betapa Ginanja begitu resah memikirkan segalanya, namun Sarah tidak akan menuntut Ginanja lebih, suatu saat nanti Sarah yakin Ginanja pasti akan menemui kesuksesannya sendiri.
Seringkali bersama Ginanja, Sarah mendapat cibiran mengapa ia bisa dengan mudahnya mengiyakan segala hal bersama Ginanja, padahal jika dibanding dirinya Ginanja tidaklah sebanding. Mereka tidak tahu, betapa Sarah merasa begitu beruntung memiliki Ginanja, pemuda itu betul tau bagaimana cara menghargainya, tidak perlu dengan cara istimewa, sesederhana perlakuan pria itu yang selalu mendahulukan dirinya dan memprioritaskan dirinya, Sarah tidak perlu apapun.
Bersama Ginanja, Sarah mengerti bagaimana rasanya dihargai dan menghargai, Sarah belajar bagaimana caranya menerima dan melepaskan. Bersama Ginanja, Sarah merasa di dengar dan ada. Bersama Ginanja, Sarah dapat mengenal dunia lebih dari apa yang dia kira.
“Ginanja,” Panggil Sarah.
“Ya?” Jawab Ginanja bersahutan dengan suara klakson dan riuhnya jalanan yang dilalui oleh mereka.
“Terimakasih,” Ucap Sarah, yang tidak dibalas apapun oleh Ginanja. Bisa saja Ginanja tidak mendengar perkataannya, sebab Sarah mengatakannya dengan volume suara yang sangat kecil. Sarah memeluk Ginanja dari belakang, menyandarkan kepalanya di punggung Ginanja, hangat. Sarah memejamkan matanya, meresapi rasa hangat yang mengalir ke seluruh tubunya, Ginanja benar – benar menenangkan. Entah apa yang ada didalam tubuh Ginanja, Sarah merasa sangat nyaman terus memeluknya.
“Terimakasih selalu ada” Batin Sarah.
***
Sarah dan Ginanja berhenti di pinggir jalan, motor Ginanja mereka pakirkan di area masjid yang tidak terlalu jauh dari tempat mereka sekarang. Selepas mereka berhenti di Masjid dan menunaikan kewajiban mereka, Ginanja dan Sarah sepakat untuk berjalan kaki bersama. Pedagang kaki lima cukup banyak berjejer, menyuguhkan berbagai hidangan yang sedap untuk disantap.