JAKARTA- Pemberian ASI eksklusif diindikasikan sebagai pendorong kuat penurunan prevalensi stunting di antara faktor pendorong lainnya. “Pendorong kuat lainnya antara lain: usia dan jenis kelamin, keberadaan ART merokok, fasilitas cuci tangan dengan air dan sabun, serta status sakit,” tegas Prof. Dr. dr. Abdul Razak Thaha, M.Sc dalam
sesi:“Mengupas Efektivitas Intervensi Stunting: Studi Analisis Dekomposisi Program Penurunan Stunting 2018-2019”yang diselenggarakan dalam rangkaian Rakornas bertema Bergerak Bersama untuk Penurunan Stunting, 24 Agustus 2021 secara daring oleh Setwapres.
Prevalensi stunting pada balita dijadikan sebagai salah satu indikator untuk mengukur terpenuhinya layanan dasar dalam upaya meningkatkan sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing. Indonesia adalah salah satu negara dengan beban stunting yang masih tinggi.
Data Riskesdas tahun 2018 menunjukkan prevalensi stunting sebesar 30,8%. Merujuk data integrasi Susenas-SSGBI 2019 yang dipublikasikan pada bulan September 2019, prevalensi stunting balita turun menjadi 27,67%, atau turun
sebesar 3,13 persen.
“Penurunan prevalensi stunting sebesar 3,13 persen dalam setahun menjadi sebuah harapan besar. Namun, penurunan tersebut menimbulkan pertanyaan dari berbagai pihak, terkait dengan faktor yang mendorong penurunan stunting pada tahun 2019.
Menjawab pertanyaan tersebut, dilakukan analisa untuk melihat determinan yang memberikan kontribusi terbesar terhadap penurunan prevalensi stunting,” kata Suprayoga Hadi, Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan, Setwapres saat membuka sesi tersebut.
Setwapres, bersama bersama BPS bekerja sama dengan ICONS (Indonesian Center for Nutrition Studies) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin menyelenggarakan studi analisa dekomposisi terhadap penurunan prevalensi sebesar 3,13% pada tahun 2018 ke 2019. Studi ini menunjukkan adanya determinan pendorong kuat, sedang dan lemah terhadap penurunan prevalensi stunting di periode tersebut.
\"Terdapat hal menarik dari studi ini karena mengapa MPASI dan imunisasi menjadi faktor kontributor rendah dalam penurunan prevalensi stunting, padahal dua faktor ini sangat penting dalam menjadi pendorong besar dalam penuruan prevalensi stunting,”tambah
Prof. Razak.
Selanjutnya dijelaskan bahwa bila benar penurunan prevalensi stunting 2018 ke 2019 (3,13%) disebabkan oleh faktor pendorong yang diidentifikasi dalam studi tersebut, maka pemerintah dapat mengakselerasi penurunan prevalensi stunting sampai 2014 melalui program-program yang berdasarkan penguatan variabel-variabel yang ada.
Dalam paparannya, Prof. Razak juga menjelaskan bahwa menurut WHO, untuk mencapai target penurunan stunting global 40% tahun 2025, setiap negara hendaknya mencapai Annual Average Rate of Reduction (AARR) stunting sebesar 3,9% per tahun.
Sedangkan menurut Global Nutrition Report tahun 2020 menunjukkan stunting secara global saat ini mencapai AARR 2,2%. Jadi penurunan prevalensi berdasarkan studi analisis dekomposisi ini sangat beralasan dan terjadi di banyak negara.
Sebagai langkah ke depan, diperlukan analisa lanjutan atas hasil studi dekomposisi penurunan stunting ini agar indentifikasi terhadap faktor-faktor pendukung dan penghambat penurunan stunting dapat dilakukan lebih mendalam.
Pemerintah dapat mengambil kebijakan berdasarkan Studi Analisis Dekomposisi
Program Penurunan Stunting 2018-2019 dan bersama semua pihak terkait juga harus berani mengoreksi dan memperbaiki berbagai penghambat sehingga mampu mengubah pendorong sedang dan kecil menjadi pendorong kuat.
“Hasil analisis studi dekomposisi dapat dijadikan salah satu acuan bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menyusun program kegiatan terhadap hal-hal yang memiliki kontribusi nyata dalam percepatan penurunan stunting sebesar 14% pada tahun
2024,” tutup. (*)