Di forum itu, Kace juga memberikan pelayanan Quran online. Setiap ada yang mengutip ayat Quran ia tampilkan ayat dimaksud. Lengkap dengan terjemahannya. Lalu ia baca ayat itu dengan fasihnya. Ia baca pula terjemahannya. Tafsir Quran apa saja ia sediakan. “Kalau tidak puas dengan ini, buka saja Tafsir Jalalain. Atau tafsir Ibnu Katsir, atau Quraish Shihab…,” kata Kace.
Saya melihat ada juga orang Islam yang gabung ke channel itu. Saya lupa namanya. Tapi kelihatannya ia intelektual. Mungkin hafal Quran. Orangnya sabar. Kalem. Banyak tersenyum. Sesekali tertawa bersama. Tidak pernah emosi. Termasuk ketika Kace begitu sinis padanya.
Banyak ayat Quran didiskusikan di channel itu. Ada soal Mariam (Islam) atau Maria (Kristen). Yakni soal jenis roh yang ditiupkan ke perawan Maria. Yang dalam Kristen digunakan sebagai alasan untuk menyebut Yesus itu Tuhan.
Ada juga diskusi soal mengapa orang Islam mati-matian membela Tuhannya. Sampai bunuh-bunuhan. Seolah Tuhan itu tidak berkuasa membela diri Tuhan sendiri –seperti juga sering diucapkan Gus Dur dulu. Begitu banyak topik di banyak acara YouTube itu.
Cara Kace ini rupanya menginspirasi kelompok Kristen yang lain. Saya lihat, ada juga channel tantang-menantang di YouTube seperti itu. Bukan Muhammad Kace pemiliknya. Kace hanya tamu di situ.
Yang dipersoalkan, misalnya, ”siapa yang lebih dulu menghina agama lain”. Saya lihat ada juga orang Islam yang masuk ke channel itu, melayani tantangan itu.
Di layar itu juga ditampilkan ayat Quran. Dari surah Al Bayyinah ayat 6: orang-orang kafir dan musyrik akan masuk neraka jahanam selama-lamanya. Mereka itu seburuk-buruk makhluk.
“Bunyi ayat seperti itu menghina atau tidak,” tanya yang dari Kristen.
“Itu tidak ada hubungan dengan menghina atau menghargai. Itu doktrin Islam,” jawab yang Islam.
“Itu kami anggap menghina, karena diucapkan di depan umum. Kalau diucapkan di dalam masjid itu tidak kami anggap menghina,” kata yang Kristen. Saya lupa mencatat namanya. Tapi saya ingat yang dari Islam itu bernama Nasution.
“Di depan umum” yang dimaksud ternyata adalah di Toa. Semula saya sulit menangkap apa itu Toa. Saya pun ingat: di Indonesia Timur semua jenis pengeras suara disebut Toa –apa pun mereknya.
“Kalau Toa itu hanya di dalam masjid tidak apa-apa. Tapi kan dipasang di atas masjid, kedengaran siapa saja,” kata yang Kristen. Apalagi kalau masjid itu di kampung yang penduduknya multiagama.
Setelah lebih dari empat jam mengikuti channel seperti itu saya mblenger. Ketakutan. Ngeri. Jenuh. Kapok.
Sejak tadi malam saya tidak mau lagi membuka channel seperti itu. Miris. Hati saya menjadi tidak damai. Padahal saya ini tidak boleh lupa bahagia –hampir saja saya lupa.
Saya juga merenung: apa untungnya membuka channel seperti itu. Apa untungnya melihatnya. Apa manfaatnya bagi bangsa.
Saya saksikan di situ, sulit sekali bisa bersepakat. Tidak ada pendapat yang bisa bertemu. Saling klaim. Saling benar. Saling mau menang.