Pak Akhiong kirim WA ke sana -setengah mengoreksi Disway tentang keberanian Mas Yanto.
Terima kasih Pak Akhiong. Kian lengkaplah informasi tentang pentil durian.
\"Teman saya di Medan juga sudah mulai melakukan itu,\" tambahnya.
\"Di sana cara itu disebut apa?\" tanya saya.
\"Kami tidak tahu apa itu pentil. Atau apa itu buang pentil. Proses itu kami sebut pruning,\" ujar Pak Akhiong. Buah durian, ketika baru sebesar bola tenis atau bola takraw harus dipruning.
Akhiong pun mengirimkan foto-foto hasil pruning itu. Saya lihat, durian yang dipruning memang sudah bukan pentil lagi. Sudah lebih besar dari pentil.
Mungkin yang dilakukan Pak Yanto lebih baik: dipruning ketika masih pentil. Ketika baru sebesar bolanya Alay. Kan sayang, nutrisi pohon sudah telanjur banyak terserap di buah itu baru dibuang.
Mungkin juga mereka yang di Bangka dan Medan itu yang benar: kalau masih terlalu pentil bagaimana bisa tahu mana yang perkembangannya kurang baik?
Cara Bangka itu bisa lebih yakin memilih mana pentil yang memang harus dibuang.
Dari Malang saya berangkat duluan menuju Lumajang. Saya memilih jalur yang lebih panjang: memutar ke arah selatan gunung Semeru. Ingin tahu saja.
Saya belum pernah melewati jalur itu.
Itulah jalur yang disebut lewat Piket Nol.
Setelah tiga jam perjalanan, tibalah di Piket Nol. Langit bermendung hitam. Matahari kian menyenja. Saya belum menulis artikel Disway. Pun belum memilih komentar pilihan.
Itu cukup alasan untuk berhenti. Biarlah istri jalan-jalan di Piket Nol. Saya duduk di atas batu besar. Di tebing batu yang tinggi. Di situlah saya menulis naskah. Di HP tercinta ini. Juga membaca semua komentar sampai jam itu.
Ternyata istri tahu sendiri ke mana dan di mana pemandangan terbaik. Saya menyusul: ternyata ke jembatan lama yang sudah tidak dipergunakan lagi.
Tapi pencurian itu bukan urusan bupati. Jembatan itu milik provinsi. Hanya saja sayang kalau sampai runtuh. Jembatan lama itu bisa jadi panggung wisata. Bisa diberi pengaman yang memadai.