Ia harus masuk ICU.
Prosedur masuk ICU harus dipenuhi. Termasuk harus diperiksa lain-lain: ketahuan lah positif Covid.
Keluarga bingung. Semua anggota keluarga memeriksakan diri: negatif. Bambang juga tidak pernah ke luar rumah. Sang istri terus menemani. Dia menjaga suami cukup ketat: istri sadar suami punya komorbid yang berat.
\"Kami semua bingung, di mana tertular Covid,\" ujar Eni, sang istri.
Bambang hanya satu malam di ICU. Ia meninggal dunia. Harus dimakamkan dengan prosedur Covid. Teman-temannya tidak bisa mengantarkan ke makam.
Pun Margiono.
Ia tidak mengira terkena Covid. Juga keluarganya. Hari itu ia merasa sesak napas. Lalu ke rumah sakit Eka, Serpong.
Margiono memang penderita gula darah. Sejak masih wartawan, atau setelah menjadi redaktur. Badannya yang tergemuk di antara kami. Makannya yang terbanyak di antara siapa pun. Guyonnya selalu soal makanan: tidak ada makanan yang tidak enak baginya. Makanan itu, katanya, hanya punya dua klasifikasi: enak dan enak sekali.
Tapi sejak menjadi direktur –lalu menjadi dirut– Margiono berusaha mengendalikan makan. Juga mulai membiasakan pakai sepatu. Sandalnya hanya lebih sering dalam posisi stand by di mobil.
Setiap tahun, Margiono berpidato di depan presiden: sebagai ketua umum PWI Pusat. Pidatonya selalu lucu dan menyenangkan. Ia memang seorang dalang wayang kulit.
\"Dua bulan terakhir berat badannya sangat normal. Turun 20 Kg,\" ujar seorang direksi Rakyat Merdeka.
Saya belum lagi bertemu Margiono. Sejak rapat dengannya enam bulan lalu. Saat itu kami rapat serius. Soal perusahaan. Ia baik-baik saja.
Bulan lalu saya ingin bertemu lagi dengannya, tapi selalu tidak cocok waktu. Hari itu saya makan pagi dengan Tomy Winata. Ia kirim salam untuk Margiono. Itu saja.
Meski menderita gula Margiono bisa mengendalikannya. Ia selalu melihat level gula darahnya. Belum pernah ada tanda bahwa ia harus mulai cuci darah. Ia semakin disiplin. Apalagi di masa Covid: ia tahu memiliki komorbid yang serius.