Desa-desa di lereng Timur ini adalah desa transmigrasi: pindahan dari Bima dan Lombok. Masih baru. Angkatan pertamanya tahun 2003.
Pak Kadus angkatan pertama. Asal Bima. Beliau termasuk yang bertahan di sini. Lebih separo transmigran pergi lagi.
Anggapan \'\'jagung tidak bisa tumbuh\'\' terbukti salah. Ternyata jagung bisa subur. Dan baik-baik saja. Asal dijaga. Diberi pupuk. Pak Kadus membuktikannya. Memang harus rajin: termasuk mampu tidak tidur sepanjang malam.
Ada juga investor yang masuk Tambora sisi timur: tambak udang. Investornya dari Surabaya. Saya mampir ke tambak modern itu. Masih baru. Baru tebar benih yang pertama. Rapi. Indah. Dengan kincir-kincir airnya yang memutar seirama. Ratusan jumlahnya.
Lokasi tambak itu agak ke selatan. Sebenarnya di pantai lebih ke utara juga cocok. Tapi investor takut: begitu banyak jembatan yang putus. Ia seperti cinta seorang jomblo: setiap dibangun lagi putus lagi. Berkali-kali.
Rupanya aliran air hujan dari gunung tumpah ke timur. Menyebar ke berbagai arah. Membentuk banyak sungai kecil. Perlu banyak jembatan: lebih 20 lokasi.
Investor tambak takut: bagaimana kalau pas panen jembatan-jembatan itu lagi hanyut? Truk besar pun tidak bisa lewat. Udang bisa busuk di perjalanan.
Saya sendiri, hari itu, harus melewati lima jembatan putus. Salah satunya curam. Harus cari jalan memutar: jalan-jalan kampung yang sempit. Berliku-liku. Lalu menyeberangi sungai yang tanpa jembatan di dekat kampung itu.
Di lokasi jembatan lainnya kami harus turun dari mobil. Untuk menata batu di tebing sungai. Agar mobil bisa merambat naik keluar dari sungai.
Di jembatan yang lain lagi kami harus dibantu penduduk setempat: harus pakai cangkul. Kalau gagal, penduduk sudah siapkan tali: mobil akan ditarik dengan traktor pertanian. Ada juga lokasi yang kami harus menunggu alat berat itu naik dulu dari sungai.
Perencana jembatan kelihatannya harus memikirkan itu: bagaimana bisa merancang jembatan yang tidak mudah hanyut lagi. Juga bagaimana agar kuat. Agar investasi tidak takut datang ke kawasan ini.
Tambora sisi timur ini masuk Kabupaten Bima. Aneh. Dari Bima, untuk ke Tambora Timur harus melewati Kabupaten Dompu. Setelah lima jam berkendara di daratan Dompu barulah sampai di Tambora Timur.
Memang ada cara lain untuk tidak usah melewati Dompu: menyeberangi laut Teluk Bima. Tapi tidak ada kapal yang menghubungkannya. Bisa hampir satu malam.
Baiknya Tambora diserahkan ke Dompu. Agar lebih rasional. Mungkin ditukar dengan sebagian wilayah Dompu yang dekat Bima: tukar guling. Agar rakyat bisa lebih terurus.
Tapi isu pelayanan seperti ini kelihatannya tidak menarik. Politik kewilayahan yang lagi hot di sana justru ini: perjuangan menjadikan Sumbawa menjadi provinsi terpisah dari NTB.