Orang yang lebih tua memberi hong bao pada anak-anak atau keponakan-keponakan. Kakek-nenek memberi hongbao pada cucu-cucu.
Sehari ini yang lebih muda dan anak-anak berkunjung ke orang yang dituakan. Sambil berharap dapat ang pao.
Yang tidak boleh berharap dapat ang pao adalah: mereka yang sudah menikah.
Begitu banyak aturan di sekitar tahun baru Imlek. Beda asal beda kebiasaan. Yang leluhurnya Hokkian beda dengan yang Guangdong. Yang Tiuchu beda dengan yang Hakka.
Hari ini, misalnya, umumnya tidak boleh bersih-bersih. Tidak boleh menyapu. Tidak boleh ganti sprei. Kalau terpaksa menyapu arah sapunya harus ke dalam. Agar rejeksi tidak keluar.
Tadi malam, umumnya tidak tidur sampai jam 00.00. Di tengah malam itu mereka harus sembahyang di rumah masing-masing.
Saya sendiri tadi malam melewatkan malam tahun baru Imlek di atas kapal feri: menyeberangi selat Sunda. Dari Merak ke Bakauheni.
Di atas feri saya mengingat-ingat apa saja yang berubah di kalangan masyarakat Tionghoa di Indonesia.
Sudah dua-tiga tahun ini saya tidak lagi mendengar ada orang Tionghoa yang berkata: \"wo men zai guo nei...\" dengan pengertian bahwa yang disebut \'\'guo nei\'\' adalah Tiongkok. Kesadaran bahwa \'\'guo nei\'\' kita itu, ya, Indonesia.
Kebiasaan salah itu mungkin bermula dari guru bahasa Mandarin mereka di masa silam: guru itu dari Tiongkok. Sehingga wajar ketika guru itu mengatakan \'\'guo nei\'\', yang dimaksud Tiongkok.
Memang saya masih berharap sebutan \'\'wo men zhong guo ren\'\' mulai bergeser ke \'\'wo men in ni hua ren\'\'. Tapi yang ini mungkin perlu waktu lebih lama: kata zhong guo tidak hanya identik dengan negara Tiongkok. Kata \'\'zhong guo\'\' juga sudah identik dengan \'\'zhong hua\'\'.
Kemajuan nyata terlihat di Universitas Ciputra Surabaya. Seorang dosen komunikasi di situ, Dr Maksum, orang Madura, bercerita pada saya bahwa di kelasnya hampir sama antara mahasiswa Tionghoa dan pribumi. Ia juga melihat tidak ada sekat di antara mereka.