Apakah itu ada hubungannya dengan kedatangan orang Tionghoa ke Palembang yang jauh sebelum ada Indonesia. Bahkan sebelum ada nama Palembang.
Di gerbang kelenteng itu tertulis: ?? (ju gang, baca: ji kang). ? berarti \"sangat besar\". ?y berarti \"Pelabuhan\". Itulah nama Palembang di peta lama Tiongkok: Pelabuhan Sangat Besar.
Berarti sejak zaman kuno Palembang sudah terkenal sebagai pelabuhan yang sangat terkenal.
Karena itu penelitian tentang kedatangan Tionghoa ke Nusantara tentu tidak bisa mengabaikan Palembang. Apalagi setelah saya membaca novel karya Remy Sylado tentang Chenghe: armada Chenghe justru paling lama berlabuh di Ju Gang. Siang hari awak armada itu berdagang. Malam hari, sebagian berkesenian. Sebagian lagi melakukan operasi militer: menangkap \'\'penjahat-penjahat politik\'\' yang lari ke Ju Gang.
Para penjahat politik itu adalah mereka yang beroposisi ke kaisar. Mereka kalah, lalu lari ke selatan: ke Vietnam, ke Nusantara, terutama ke pelabuhan besar di sungai Musi yang tersembunyi itu.
Remy Sylado tentu belum diakui sebagai peneliti. Ia adalah seniman terkemuka. Terutama di seni musik dan teater. Tapi ia bertahun-tahun tenggelam di perpustakaan Belanda: soal asal usul orang Manado dan soal misi armada Chenghe. Menurut Remy, di balik misi dagang dan budaya Chenghe ternyata ada misi menangkap oposisi sampai di mana pun. Karena itu dalam novel Remy Sylado digambarkan ini: bagian bawah salah satu kapal di armada besar itu ada penjaranya. Mereka yang ditangkap selama ekspedisi dimasukkan penjara di bagian bawah kapal itu.
Saya pun keliling kelenteng marga Chu. Di halaman depan masih terlihat tenda besar. Pertanda yang sembahyang Imlek tadi malam sangat banyak.
Di halaman baratnya ada \"Rumah Nama\". Di situlah nama-nama orang marga Chu ditulis di atas lempengan-lempengan marmer. Nama-nama itu adalah nama kakek-nenek mereka di zaman dulu. Juga nama-nama marga Chu zaman sekarang.
Di ruang nama itulah dipanjatkan doa oleh anak cucu mereka –sebelum nama si anak cucu sendiri pada gilirannya juga akan ditulis di situ.
Di halaman belakangnya ada tenda yang lebih besar lagi. Agak permanen. \"Ini untuk pesta perkawinan. Bisa 5.000 orang,\" ujar pengurus di situ. Berarti bisa untuk 700 meja –satu meja 8 orang di kebiasaan di sini.
Di sini ternyata biasa pesta perkawinan diselenggarakan di halaman belakang kelenteng: di bawah tenda tanpa AC.
Di antara tempat pesta dan bangunan kelenteng itu ada gundukan tanah. Saya tahu maksud gundukan itu: agar seperti ada gunung di belakang bangunan induk kelenteng. Kawasan ini tanahnya datar. Kelenteng ini di tanah datar. Padahal bangunan kelenteng –juga rumah orang Tionghoa– sebaiknya memenuhi prinsip ini: \"bersandar ke gunung, memandang laut\". Kokoh dan damai. Maka dibuatlah seolah kelenteng ini bersandar ke gunung.