\"Saya sarankan agar beliau ke Wadas. Secara pribadi. Untuk mencairkan suasana. Tidak usah bicara persoalan dulu. Yang penting cair dulu,\" ujarnya.
Kiai Imam menemukan alasannya. \"Anggap saja ke Wadas untuk melayat. Kebetulan kiai di desa itu meninggal dunia. Belum tujuh harinya,\" ujarnya. Memang, saat peristiwa Wadas terjadi, desa itu sebenarnya lagi berduka. Itulah hari-hari meninggalnya KH Syamsu Bahri.
\"Berapa kali kiai Imam ke Wadas?\" tanya saya.
\"Satu kali,\" katanya.
Itu karena sejak tahun 2018, tokoh-tokoh warga Wadas sering menemuinya. Mereka tidak setuju gunung batu di atas perkampungan mereka ditambang. Alasannya: takut air yang jadi sumber kehidupan pertanian mereka terganggu.
Tahun 2019, izin IPL itu habis. Gubernur memperpanjang lagi satu tahun. Warga tetap menolak. Berbagai upaya mereka lakukan. Mereka juga terus mengadu ke kiai Imam.
Tahun 2020, izin itu habis. Gubernur memperpanjang lagi: 2 tahun.
Penolakan dari warga berlanjut. Termasuk unjuk rasa. Dengan demikian sudah lebih dua tahun penolakan warga itu diketahui secara luas di sana.
Tapi proyek harus segera jalan. Pengukuran tanah pun dilakukan di Wadas: seberapa luas yang masuk area tambang batu itu.
Warga tetap menolak. Petugas pengukur tanah harus bekerja. Mereka pun diamankan oleh ratusan polisi. Maka terjadilah kehebohan itu.
Gubernur Ganjar akhirnya ke Desa Wadas: hari Minggu kemarin. Ia tidak mau dikawal. Ia ingin datang sendiri sebagai pribadi. Ia ingin minta maaf kepada masyarakat. Di Wadas Ganjar berkali-kali mengucapkan minta maaf itu.
Kedatangan Ganjar diterima warga dengan antusias. Saat itulah Ganjar menerima curhat dari penduduk desa itu: yang ditangkap, yang ditekan, yang diperlakukan keras, dan yang trauma –sampai tidak berani keluar rumah.