Begitu salat selesai, sang imam naik podium lagi. Ia menyampaikan pengumuman –entah apa, karena saya juga lamcing (habis salam langsung melencing pergi).
Saya terus menyusuri jalan desa itu. Pakai Tesla. Kanan kiri jalan terhampar tambak tradisional. Tidak habis-habisnya. Air hujan memenuhi kolam. Itulah ciri khas desa-desa di hampir seluruh kecamatan Turi.
Tambak.
Tambak.
Tambak.
Di musim hujan seperti ini memang tidak ada yang bisa ditanam di situ kecuali ikan. Genangan air terlalu besar di kawasan ini. Boleh dikata, air hujan dari seluruh Lamongan parkir di sini. Itu bukan genangan masa lalu. Itu genangan sampai masa kini.
Baru di musim kemarau, petani justru bisa menanam padi.
Tambak di kawasan Turi ini khas: tambak hybrid. Ikan dipelihara bersama dengan udang. Udangnya pun sudah udah masa kini: udang vaname. Yang lebih tahan penyakit.
Tentu banyak parit di kawasan ini, dengan jembatannya yang tinggi. Sesekali terdengar bunyi bagian bawah mobil memukul beton jembatan.
Tambak, desa, tambak, desa.
Silih berganti. Ini tambak tradisional. Banyak pohon pisang di tanggul-tanggul tambak itu.
Begitu masuk desa Keben saya terpana: terlihat ada gedung modern yang masih baru. Berarti itulah gedung tinggi yang mengundang saya.
Saya berhenti mendadak di jalan sempit itu. Bagus sekali kalau bisa memotret gedung tersebut dari kejauhan: dengan latar depan rumah pedesaan dan air tambak. Terasa kontras sekali: tradisional dan modern jadi satu.
Dari jalan kecil ini saya harus belok kanan –ke jalan menurun yang lebih kecil. Lalu belok kanan lagi. Sampailah di gedung itu: Gedung Yafira 1.5.