Laut Arafuru, memang sudah dikapling-kapling –menjadi lebih 1.000 kapling. Silakan ambil salah satu kapling di situ. Dengan cara minta izin ke kementerian perikanan dan kelautan.
Setiap kapal penangkap milik Yusuf punya 40 orang awak kapal. Aat akan sangat cocok bekerja di kapal ini: tidak boleh pulang selama satu tahun. Mereka harus tetap di atas laut selama satu tahun itu.
Menjelang Lebaran mereka baru boleh pulang. Setelah itu mereka balik lagi ke Arafuru untuk setahun ke depan.
Tugas kapal itu hanya menangkap ikan. Lalu membekukannya. Ada alat pembeku di perut kapal. Yang suhunya minus 40 derajat. Yang bisa membuat ikan langsung beku.
Kapal penangkap tidak perlu mengirim hari tangkapan. Ada kapal pengangkut yang datang dan pergi. Datang membawa air dan bahan makanan. Pulang membawa ikan beku: ke Muara Baru, Jakarta.
Dua kapal pengangkut itulah yang mondar-mandir Arafuru–Muara Baru.
Yusuf baru berumur 49 tahun. Ia punya anak satu –perempuan.
Anak itu ia sekolahan ke Tiongkok: ke kota Xiamen. Sekarang sudah pulang. Sudah berumah tangga, dengan satu bayi.
Sang Putri kini tinggal di Bitung: memimpin dua pabrik ikannya yang ada di Sulut. \"Biar matang di sana,\" ujar Yusuf.
Tidakkah kasihan pada anak perempuan? \"Tentu saya sayang sekali. Tapi kalau di Jakarta dia nanti hanya tahu matang. Kalau di Bitung bisa tahu ikan sejak A sampai Z,\" tambahnya.
Yusuf sendiri memulai usaha dari bawah. Dua kali bangkrut. Habis. Sampai terlempar menjadi sopir truk –jurusan Jakarta-Cirebon. Lalu Yusuf diterima menjadi sopir pribadi seorang pengusaha Tionghoa. Lukas namanya. \"Pak Lukas orangnya baik. Saya diberi modal usaha,\" ujar Yusuf.
Ayah kandung Yusuf sendiri seorang pedagang kecil di Dumai. Sang ayah menyekolahkan anaknya itu ke Sekolah Menengah Usaha Perikanan di Dumai. Begitu tamat Yusuf jadi awak kapal. Milik asing. Jurusan Guam di Samudera Pasifik. Sampai dua tahun Yusuf di sana.
Setelah punya sedikit tabungan Yusuf pindah ke Jakarta. Usaha kecil-kecilan. Gagal. Bangkit lagi. Gagal lagi. Lalu jadi sopir truk tadi.