Oleh: Dahlan Iskan
Rabu, 23 February 2022
PRESIDEN dilarang meninggalkan ibu kota Ukraina, Kiev. Tiga hari lalu. Perang bisa meledak setiap saat. Tapi, Volodymyr Zelenskyy tetap pergi ke Muenchen, Jerman.
”Pasti di antara kita ada yang berbohong,” ujarnya di depan forum Dewan Keamanan Eropa. Hari itu semua menteri pertahanan Eropa hadir. Demikian juga Kamala Harris, wakil presiden Amerika Serikat. Mereka membahas krisis Ukraina. Yang terancam diserang Rusia setiap saat.
Zelenskyy lagi sangat kesal. Dan itu bukan hanya akting seperti saat ia lagi melawak sebelum jadi presiden. ”Kami ingin damai. Rusia ingin damai. USA ingin damai. Eropa ingin damai. Tapi, ancaman perang begini nyata. Berarti, di antara kita ada yang berbohong,” katanya.
Maunya Zelenskyy: langsung saja Ukraina diterima sebagai anggota NATO. Dengan demikian, menjadi kewajiban seluruh anggota NATO
untuk melindungi Ukraina. Serangan terhadap salah satu anggota NATO memang berarti serangan kepada seluruh anggota NATO.
Tapi, pertemuan di Muenchen itu masih juga mbulet. Ancaman Rusia begitu nyata: ratusan ribu tentara Rusia dikerahkan ke perbatasan. Demikian juga tank dan senjata berat.
Begitu Ukraina diterima sebagai anggota NATO, pasti pecah perang besar. Itu dianggap pernyataan perang terhadap Rusia.
Awalnya 1991: seiring dengan runtuhnya Uni Soviet. Referendum diadakan di Ukrainna. Hasilnya: lebih 80 persen mendukung pemisahan diri dari Uni Soviet. Termasuk dua wilayah Ukraina yang paling timur: Donetsk dan Luhansk. Dua wilayah itu disebut sebagai kawasan Donbas. Itu singkatan dari Donetsk Basin.
Rusia tidak mempermasalahkan pemisahan diri itu. Asalkan tidak menjadi anggota NATO.
Yang membuat Rusia keberatan: Soviet dulu membangun terlalu banyak senjata nuklir di daratan Ukraina. Keseimbangan kepemilikan senjata nuklir akan berubah. Nuklir yang dibangun Soviet itu bisa menjadi seperti ”senjata makan tuan”.
Tapi, kecenderungan Ukraina berkiblat ke Eropa tidak bisa dibendung. Bahkan kian menjadi-jadi.