Oleh: Dahlan Iskan
Kamis, 24 Maret 2022
APA sih maunya Rusia ini? Kok lama banget tidak menyelesaikan serangannya ke Ukraina. Harga terigu di Indonesia sudah begini tingginya. Juga harga elpiji. Dan banyak lainnya.
Apa juga sih maunya Ukraina ini? Kok begitu-begitu terus. Ini, harga batu bara sudah tak tertahankan.
Dan apa sih maunya NATO itu? Seperti membiarkan keadaan digantung tidak menentu.
Sampai-sampai saya baca berita di kantor berita asing, Al Jazeera, kemarin dulu: orang Medan kini lebih sulit mencari Indomie di toko-toko. Diceritakan di situ: satu orang Medan sangat fanatik Indomie. Ia begitu mengeluhkan kelangkaan Indomie. Harga Indomie yang biasanya Rp 2.300-Rp 2.500 kini menjadi Rp 2.700 - Rp 2.800. Ia tahu: sulitnya mendapat Indomie itu akibat perang di Ukraina.
Saya pun bertanya ke beberapa sumber yang dekat dengan terigu. Ternyata Indonesia memang impor gandum sangat besar dari Ukraina: 3 juta ton. Setahun. Itu angka tahun 2020.
Anehnya gandum dari negara lain juga terpengaruh. Misalnya yang dari Australia. Ikut terganggu. \"Kami kian sulit mendapat gandum dari Australia,\" ujar pengusaha terigu di Makassar. \"Masih bisa dapat sih, tapi harganya naik drastis,\" katanyi. \"Naik sampai 50 persen,\" tambahnyi.
Kenaikan harga itu membuat pengusaha mie dan roti di persimpangan jalan. Sebagian berani menaikkan harga jual. Sebagian lagi pilih mengurangi produksi. Hanya sedikit yang berani menurunkan kualitas: dengan cara mengganti bahan baku dengan terigu yang lebih murah.
Dengan kenaikan harga terigu sampai 50 persen, tidak mungkin tidak menaikkan harga jual. Pada akhirnya. Kecuali perang segera selesai. Terigu kembali normal.
Faktor harga sangat sensitif bagi produk seperti Indomie.
Bisa saja, awalnya, produsen akan memilih menurunkan produksi. Tanpa menaikkan harga. Sekadar untuk mengurangi kerugian. Sekalian untuk merencanakan pembentukan harga baru. Sambil lihat-lihat apa yang dilakukan pesaing.