PERKAWINAN BEDA AGAMA, SOLUSI ATAU PROBLEM SOSIAL

Jumat 01-04-2022,00:00 WIB
Oleh:

Penulis : Ardian Kurniawan, S.H., M.H.

Dosen di Fakultas Syariah UIN STS Jambi

Polemik perkawinan beda agama yang terjadi di Semarang, Jawa Tengah beberapa waktu lalu telah menyita perhatian public tanah air. Peristiwa yang kemudian melahirkan pro dan kontra dari berbagai kalangan terhadap keabsahan perkawinan tersebut baik dalam aspek agama maupun hokum positif negara yang berlaku. Perkawinan antara sepasang insane berbeda agama dimana pria merupakan penganut agama Katolik dan wanita beragama Islam jelas menimbulkan perdebatan dalam hal perkawinan di Indonesia yang tidak mengenal adanya perkawinan beda agama. Bersandar pada UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan yang sahapa bila dilakukan menurut masing - masing agama dan kepercayaan, tentu menasbihkan perkawinan bukanlah hubungan keperdataan biasa tetapi juga sebagai bentuk ibadah kepada Sang Pencipta.

Dalam Islam perkawinan dianggap sebagai ikatan yang kuat dan suci (mitsaqanghalizaa) karena adanya hubungan spiritual melalui ijab qabul berkaitan dengan janji dan ketaatan kepada Allah SWT. Bagaimana mungkin orang yang memiliki keyakinan terhadap suatu agama akan memiliki keyakinan yang sama pula kepada agama lain?

Dalam hal ibadah sebagai wujud keimanan tentu ini tidak dapat diterima. Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa tegas yang menghukumi haram pada perkawinan beda agama melalui fatwa No. 4/MUNAS VII/MUI/8/2005. Sehingga hubungan suami istri dari perkawinan beda keyakinan ini dapat dihukumi sebagai zina dan perbuatan yang tentunya dilarang.

Persoalan kemudian tidak berhenti sampai disana, perkawinan beda agama juga dapat menimbulkan masalah bila diikaitkan dengan pencatatan perkawinan yang diwajibkan oleh UU Perkawinan Pasal 2 ayat 2 misalnya, dimana setiap peristiwa perkawinan harus dicatatkan sebagai bentuk ketaatan dan perlindungan hokum bagi warga negara. Perkawinan beda agama jelas melanggar ketentuan ini, karena ia sudah pasti tidak melalui proses pencatatan baik oleh pegawai pencatatan nikah (KUA) bagi yang beragam Islam maupun oleh petugas pencatatan sipil bagi yang beragama selain Islam. Pada dasarnya pencatatan perkawinan merupakan sebuah proses dimulai dari pendaftaran hingga terbitnya buku atau akta nikah. Ada proses panjang disana, termasuk pemeriksaan terhadap kepercayaan dari masing-masing pihak secara personal yang akan menikah agar dapat ditentukan kompetensi lembaga yang berwenang untuk mencatatkannya. Inilah yang sering kali salah dipahami oleh masyarakat, bahwa lembaga-lembaga tersebut hanya berfungsi sebagai “pencatat”, padahal ada proses yang juga harus dilalui sebelum peristiwa perkawinan itu dilaksanakan.

Hal lain yang menarik dari peristiwa perkawinan beda agama di Semarang tersebut ialah adanya fakta yang menunjukkan bahwa perkawinan ini bukan pertama kali terjadi. Ada 1.424 pasangan beda agama yang telah dinikahkan melalui seorang perantara yang bernama Ahcmad Nurcholish dengan lembaga yang menamakan dirinya sebagai Pusat Studi Agama dan Perdamaian (ICRP). Lembaga ini berperan sebagai konsultan perkawinan yang memberikan pendampingan dan nasehat khusus kepada pasangan beda agama yang akan menikah. Artinya, peristiwa ini sebenarnya telah berulang kali terjadi dan tidak menjadi concern serius pemerintah, kalau tidak mau disebut abai. Tentu ini cukup mengkhawatirkan, bila peran dan fungsi hokum sebagai social control ternyata diabaikan oleh negara.

Maka tidak tertutup kemungkinan akan hadirnya kelompok masyarakat atau lembaga serupa yang mengatas namakan perlindungan hak asasi dan toleransi dimasa yang akan datang justru akan menjadi pemantik konflik sosial. Ini tidak terlepas bahwa persoalan agama bukan hanya sebagai bagian dari identitas personal, tetapi juga berkaitan dengan sensitifitas masyarat yang tidak boleh dinodai demi menjaga kerukunan antar umat.

Kedepannya mungkin perlu ada langkah serius demi melindungi dan meningkatkan kesadaran hokum masyarakat. Saat kebebasan individu dimaknai sebagai sesuatu yang prinsip namun pada sisi lain sesungguhnya merupakan bentuk pelanggaran hokum dan norma agama. Rekonstruksi terhadap aturan hokum khususnya yang berkaitan dalam bidang perkawinan yang sudah ada mungkin perlu dipikirkan ulang oleh para pemangku kebijakan. Jika diperlukan maka tidak ada salahnya aturan tersebut juga diberikan muatan sanksi hukum yang lebih tegas bagi pelanggarnya. Sehingga tidak adalagi pihak yang mengaku bertoleransi dalam perbedaan justru merusak toleransi itu sendiri. Ini dimaksudkan sebagai upaya preventif sebelum terjadinya gejolak sosial ditengah-tengah masyarakat kita. (*)

 

Tags :
Kategori :

Terkait