DISWAY: Puasa Lokal

Minggu 03-04-2022,00:00 WIB

Kita sudah biasa menerima perbedaan berdasar lokalitas itu: waktu azan Magrib di Surabaya berbeda dengan di Jakarta. Apalagi di Makassar, Ambon, dan Jayapura. Atau di Palembang, Padang, Medan, dan Aceh. Demikian pula azan subuh dan waktu salat lainnya.

Kita tidak pernah heboh kenapa azan Magrib di Makassar berbeda dengan di Jakarta. Mungkin kita justru heboh kalau waktu azannya disamakan.

Sudah merupakan kenyataan bahwa wilayah Indonesia ini memanjang ke timur. Saya membuka Google kemarin. Azan Magrib di Jayapura pukul 15.43 WIB. Azan Magrib di Sabang pukul 18.48.

Selisihnya 3 jam lebih.

Ketika orang Aceh belum mulai salat Asar di sore hari, orang Islam di Jayapura sudah berbuka puasa. Itu karena matahari terbit dari timur. Bukan terlihat dulu dari barat. 

Perbedaan jam itu tentu tidak terlalu mencolok kalau matahari terbit dari Selatan –problemnya pindah ke negara seperti Argentina yang memanjang ke selatan.

Tentu posisi bulan yang baru 2 derajat kemarin itu dilihat/dihitung dari satu tempat: Jakarta?

Padahal dua derajat di Jakarta bisa jadi sudah 8 derajat di Sabang, Aceh. Sebaliknya, dua derajat di Jakarta belum punya derajat di Jayapura atau Makassar.

Atau sebaliknya? Pokoknya, soal apakah bulan sudah terbit berapa derajat itu tergantung dihitung dari wilayah mana di Indonesia ini.

Kita sudah bisa menerima perbedaan antar daerah soal azan Magrib. Bahkan dipublikasikan secara luas pula: Anda bisa tahu di kota apa, azan Magribnya jam berapa. Tinggal lihat di google –dahulu ditempel di dinding-dinding masjid.

Maka sudah saatnya dimulainya puasa pun diatur seperti azan Magrib. Beda kota beda mulai puasanya.

Kian ke barat kian awal hari puasanya. Apalagi bulan puasa sudah tidak dikaitkan lagi dengan libur sekolah atau libur nasional. Kapan saja mulai puasa tidak ada pengaruh sosialnya.

Grup senam saya juga sudah terbiasa: hari apa pun mulai puasanya, tidak berpengaruh pada kegiatan olahraga. Memang ada yang bersuara: puasa-puasa kok olahraga. Saya pun begitu: dulu.

Lalu saya ingat ayah saya: biarpun bulan puasa tetap ke sawah. Mencangkul. Di bawah terik matahari. Punggung telanjangnya seperti terbakar. Sesekali disiram air bercampur lumpur. Tanpa mengenakan baju atau kaus.

Tags :
Kategori :

Terkait