Di desa-desa penduduk tidak menunggu kebijakan itu. Mungkin juga karena harus menghemat pengeluaran.
Di kota masih banyak yang bermasker. Masjid Agung Surabaya masih melarang jamaah salat tarawih yang tidak bermasker. Hanya barisan salatnya sudah boleh mepet-mepet. Masjid itu juga menjadi lebih bersih dan rapi. Pengurus membagikan kantong sandal yang didesain khusus. Rapi. Warna-warni.
Singapura sudah bebas masker. Tapi kalau Anda jalan-jalan di Orchard Road –Jalan Thamrinnya Jakarta– 80 persen masih bermasker. \"Hanya yang bule tidak ada yang bermasker,\" ujar anggota senam saya yang kini bekerja di perusahaan IT di Singapura. Ia terlihat senam di Surabaya kemarin. Lagi liburan.
Apakah di Jepang sudah bebas masker?
\"Hehehe... Orang Jepang itu suka bermasker,\" ujar Taki Tikada, tamu saya pekan lalu. \"Sebelum Covid pun, kalau di tempat umum, kami bermasker,\" katanyi.
Dia ke Indonesia untuk memperkenalkan sistem evaluasi hasil pembangunan proyek di Jepang. Yang sudah berlangsung lebih 20 tahun.
Evaluasi itu dilakukan oleh rakyat yang di sekitar proyek. Apakah hasilnya sesuai dengan tujuan dan anggaran. Wakil pemerintah hadir hanya sebagai pendengar. Tidak boleh bicara. Tidak boleh klarifikasi.
Saya tidak bisa tahu apakah Taki masih secantik dulu. Dia ke rumah saya bermasker. Kami ngobrol panjang di teras belakang. Out door. Ketika saya copot masker, dia tetap bermasker.
Pemerintah kita belum mau menyinggung bebas masker. Mungkin karena ujian Covid masih akan kita hadapi lagi. Semoga ini ujian terakhir: Lebaran Idul Fitri. Orang bisa menyebut sebagai \'\'ujian kelulusan\'\'.
Saya tentu termasuk yang sangat gembira. Tapi masih ada yang lebih gembira lagi. \"Kalau yang sudah punya antibodi 99,2 persen berarti sebenarnya sudah 100 persen,\" ujar seorang peneliti virus.
Bisa jadi yang 0,8 persen itu hanya tidak terlihat punya antibodi. Padahal bisa saja sebenarnya mereka sudah punya. Hanya tidak terbaca di lab.
Seseorang yang sudah divaksin pasti sudah punya antibodi. Begitu juga yang sudah pernah terkena Covid. Antibodi itu tidak terbaca lab setelah lewat enam bulan. Padahal antibodi itu tetap tersimpan di memori tubuh. Tidak akan hilang. Puluhan tahun. Kalau kelak tertular virus yang sama, barulah antibodi itu keluar secara otomatis.
Itulah sebabnya, ia termasuk yang tidak setuju vaksin booster. Hanya buang uang. Tapi...ia lantas tertawa. \"Siapa tahu berpahala,\" ujarnya. Bisa membuat banyak orang senang –para pedagang vaksin.
Kenapa yang diteliti hanya 2.100 responden?