Sesuai nggak dengan keputusan lisan Presiden Jokowi.
Draf itu lantas diajukan ke atas. Dikoreksi. Mungkin juga dimintakan petunjuk. Lalu diperbaiki –kalau masih ada yang harus diperbaiki.
Setelah itu barulah diparaf oleh banyak pejabat eselon satu. Untuk diajukan ke atas. Untuk dimintakan tanda tangan.
Rasanya tidak mungkin Presiden Jokowi sendiri yang tanda tangan. Juga tidak mungkin salah satu menko –karena sifat menko yang koordinatif.
Rasanya Menteri Perdagangan Mohammad Lutfi yang harus tanda tangan. Atau cukup direktur jenderal di bawahnya.
Tentu rapat-rapat di eselon satu dan eselon dua seperti maraton.
Perkiraan saya: jalannya rapat itu seru sekali. Mereka tidak mungkin menyusun draf yang bisa sepenuhnya seperti yang diucapkan Presiden Jokowi di video yang diterbitkan Istana Kepresidenan itu.
Mungkin mereka sedang merumuskan kompromi. Antara keinginan presiden dengan realitas di lapangan. Juga dengan kebutuhan negara akan devisa.
Di jalan pikiran mereka, mungkin, yang penting keinginan presiden bisa terpenuhi. Yakni, harga minyak goreng di dalam negeri turun.
Kalau perlu tanpa ada larangan ekspor –apalagi secara total. Mengapa tidak. Yang penting harga turun. Sebelum tanggal 28 April. Dan melimpah.
Kompromi itu bisa saja begini: ekspor dilarang sementara, khusus untuk minyak goreng. Tidak termasuk CPO. Sampai harga turun.
Atau: ekspor minyak goreng pun tidak dilarang. Cukup dikurangi: antara 10 sampai 20 persen. Dengan asumsi pengurangan itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Itu perkiraan saya. Tentu saya tidak berani menantang pembaca Disway untuk taruhan: beranikah mereka membuat peraturan yang tidak seperti dikatakan presiden ke publik? Ini bulan puasa. Bukan bulan untuk bertaruh.