Penguasa dan Pengusaha (Peng-Peng Oligarki)

Penguasa dan Pengusaha (Peng-Peng Oligarki)

Citra Darminto--

Oleh: Citra Darminto

Persoalan bangsa dan negara yang menyebabkan penderitaan rakyat, akar masalahnya adalah keserakahan para Oligarki.

Kehadiran oligarki yang mengendalikan seluruh elemen kekuasaan mulai dari eksekutif, legislatif, yudikatif hingga berimplikasi pada rakyat Indonesia, tentu bukan hal yang terjadi begitu saja.

Sangat mungkin bila kehadiran oligarki berangkat dari filosofi korporasi yaitu "time is money".

Tiap detik berupaya mengakumulasikan kekayaannya. Mereka tumbuh menjadi oligarki apabila kekayaannya kemudian menjadi sumber daya kekuasaan. Transaksi gelap antara pemilik modal yang ingin mempertahankan kekayaan dengan oknum pemerintah yang ingin mempertahankan kekuasaan, berimplikasi pada setiap kebijakan.

Tidak ada kebijakan yang luput dari kepentingan oligarki. Demikian juga sebaliknya, penguasa mencari manfaat materi (rent-seeking) dari kebijakannya. Sehingga keadaan ini menjadi hubungan ketergantungan, simbiosis mutualisme. Praktek rent-seeking kian menggurita, menyusup ke setiap lini kebijakan strategis yang mempengaruhi sistem bernegara dan kesejahteraan rakyat. Namun ketergantungan tersebut hanya bertumpu pada kelompok tertentu, yang tidak memberikan manfaat bagi rakyat.

Melalui relasi-relasi bisnis-politik, oligarki mendapatkan privilege tertentu seperti konsesi bisnis dan perlindungan politik, sehingga oligarki memiliki akses luas untuk dapat mengakumulasi aset, yang kemudian aset tersebut akan digunakannya kembali untuk mengendalikan kontes politik (pemilu). Dengan investasi politiknya itu selanjutnya oligarki dapat mengendalikan penguasa yang terpilih dan mempengaruhi kebijakan publik.

Proses ini dapat disebut sebagai siklus oligarki, ini dapat dilihat pada kebijakan dalam proyek-proyek besar dengan nilai bisnis yang besar. Tidak ada pertarungan yang ketat pada kebijakan tersebut, meskipun banyak kalangan masyarakat sipil menentangnya dengan alasan yang rasional, menunjukkan bahwa kepentingan investor besar telah menyebar kepada partai-partai politik.

Sedangkan di Indonesia kepentingan investor besar adalah untuk mendapatkan kebijakan pemerintah, yang sebenarnya menjadi sumber bisnisnya, misalnya konsesi pada Sumber Daya Alam, monopoli impor dan ekspor, atau barang dan jasa tertentu yang di-endorse pemerintah, pemasok tunggal bagi instans pemerintah, atau penunjukan sebagai kontraktor proyek-proyek besar pemerintah.

Pengusaha Indonesia yang menjadi Investor besar dalam kontes politik umumnya mengakumulasi kapital atau cari untung besar tanpa perlu membangun manufaktur besar yang efisien dan mampu bertarung di pasar global. Mereka layak disebut jago kandang, karena lebih suka mengeruk keuntungan besar di negeri sendiri dengan hanya bermodalkan kebijakan pemerintah.

Barangkali modal yang dibutuhkan investor kurang dari 10% dari nilai proyeknya, karena sebagian lagi akan disediakan oleh bank-bank pemerintah. Dalam perkembangannya, mereka tidak cukup hanya menempatkan orang-orang yang menjadi proxy mereka dalam institusi-institusi yang kebijakannya menjadi kepentingan mereka.

Mereka juga merasa perlu terjun secara langsung menduduki posisi di pemerintahan, agar keuntungan bisnis semakin mudah dan besar, serta akses dan pengaruh politiknya juga semakin kuat.

Inilah yang disebut rezim Peng-Peng (Penguasa sekaligus Pengusaha). Semakin nyata kemunculan Peng-Peng (Pengusaha-Penguasa), menunjukkan bahwa oligarki turun langsung menduduki posisi puncak institusi.

Misalnya banyak menteri dari pengusaha, anak-anak konglomerat jadi Stafsus Presiden dan Wamen, Ketum parpol dari pengusaha. Dengan demikian kebijakan publik, dimana kepentingan-kepentingan elit dapat dipertemukan dan saling mendukung, menjadi area yang secara langsung dikendalikan oligarki. Buzzer semakin terang-terangan memanipulasi opini publik dan menyerang orang-orang atau kelompok yang dianggap dapat mengancam kekuasaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: