Bagian 10: “Ditinggalkan Dan Perelaan”

Bagian 10: “Ditinggalkan Dan Perelaan”

ilustrasi--

Arjuna tidak pernah merasa senelangsa ini soal Aresa. Karena Aresa yang jadi momok pikirannya dia itu bukan tipikal dirinya. Seandainya Arjuna memikirkan Aresa, maka pikirannya akan penuh dengan susunan rencana, soal serunya apa lagi yang akan dilakukan di sekolah, atau soal rasa penasaran apa lagi yang akan mereka tuntaskan kala remaja. Bawannya selalu bersamangat dan enerjik, bukan yang menatap langit di pinggir jendela ditemani semangkuk Mie Indomie yang sudah mengembung sembari memutar lagu galau, soal Arjuna yang benar atau tidak sedikit – sedikit merasa jauh dari Aresa, sahabatnya.

Arjuna kalo ditanya, mengapa sebetah ini sama Aresa dia juga nggak tahu jawabannya. Tapi Arjuna bisa pastikan, kalo sama Aresa nggak ada kata yang namanya ‘membosankan’ nggak ada peristiwa yang namanya cuma ‘kebetulan’. Kalo kejadian, berarti memang sudah direncakan, kalo diluar rencana namanya pelajara, kalo ternyata hidup ini nggak semulus yang dipikirkan. Arjuna juga bisa pastikan, kalo sam Aresa nggak ada tuh yang namanya habis topik pembicaraan, soal kenapa jari tangan harus ada lima saja, kalo sama Aresa, semuanya terasa menyenangkan.

“Abang…abang!” Panggilan kecil itu medistraksi lamunan Arjuna. Adela—adik Arjuna berjalan cepat kearah Arjuna dan duduk di pangkuannya, “Abang kenapa nggak main sama Adela?” Tanya Adela yang dibalas Arjuna dengan pelukan.

“Abang lagi sedih.” Jawab Arjuna seadanya, memeluk Adela semakin erat. Adela yang dipeluk sedikit merasa tidak sesak, rasanya tidak nyaman. Sehingga memukul punggung Arjuna sedikit keras, sebab susah mengutarakan apa yang ia rasakan.

“Sedih?” Tanya Adela dengan nafas tersengal, “Aduh…Adela...rasanya nggak enak dipeluk abang!” Ungkapnya. “Susah nafas…”

Arjuna tertawa gemas melihat tingkah Adela, ia mencubit pipi Adela dan menciumnya berulang kali. Adela lahir kala Ayahnya dikabarkan kecelakaan, buat hari itu Arjuna bingung harus bereaksi seperti apa? Harus sebab kelahiran adiknya yang begitu nanti? Atau sedih sebab sang ayah pulang ke pangkuan Ilahi? Adela diberkahir wajah yang rupawan oleh tuhan, tingkahnya manis dengan tubuh mungil bak porselen, banyak orang tidak bisa menahan gemas kala melihat Adela, bahkan Arjunan. Adela dilimpahi keberbekahan yang banyak, juga sedikit kekurangan, yang menyempurnakan Adela jadi manusia. Adiknya itu susah mengungkapkan emosi, kata dan rasa soal yang ia alami.

“Iya abang sedih. Banyak biru – birunya disini!” TunjukArjuna pada hatinya, Adela mengedipkan matanya beberap kali, turut menyentuh dada Arjuna. Adela kemudian merentangkan tangannya, yang dibalas tatapan bingung oleh Arjuna.

“Kenapa cantik?” Tanya Arjuna bingung, Adela mencebikkan bibirnya, kemudian menarik leher Arjuna untuk kembali di peluk.

“Abang sedih makanya tadi peluk Adela.” Balas Adela, “Gapapa abang..peluk aja, tapi jangan lama – lama ya abang, soalnya…apa ya…adela susah suka.” Lanjut Adela.

Aduh…kalo begini bagaimana Arjuna tidak makin cinta dan sayang pada adiknnya, Adela jangan cepat – cepat dewasa, biar Arjuna tetap leluasa beri afeksi nyata, soal peluk dan cium pada adik satu – satunya.

“Abang, sedih karena apa?” Tanya Adela, kini Adela bersandar di dada Arjuna, sedang Arjuna sendiri sedang bersandar di dinding pojok rumah sembari mengelus elus rambut aroma strawberry Adela. Kebiasaan yang cukup unik antara Adela dan Arjuna itu kala sesi deeptalk keduanya yang selalu saja di pojok dinding rumah, padahal ada kamar, ada sofa di ruang tamu yang bisa beri tempat lebih nyaman. Namun, keduanya sepakat soal deeptalk itu tempat yang paling nyaman itu ya dinding pojok rumah.

Deeptalk ala Arjuna-Adela itu ya nggak gimana – gimana, apa yang diharapkan dari pembicaraan remaja yang galau cari jati diri dan anak belia yang cuma tau soal mainan dan eskrim. cuma sesi curhat Adela yang sedih, soal Amara—boneka beruang kesayangannya—yang terluka karena ditarik teman sebangkunya, dan Adela tidak tega melhat Amara dijahit oleh Bunda. Sakit, katanya.

“Abang…juga bingung sedih karena apa.” Jawab Arjuna, Adela menganguk – anguk.

“Adela juga pernah begitu, abang. Sedih. Banyak birunya. Tapi, nggak tahu kenapa banyak biru – biru.” Adela bercerita yang disimak hikmat oleh Arjuna, “Terus, Kak Aresa datang, bilang Adela, biru – birunya itu dicari kerena apa, nanti di sembuhin sama – sama dengan Bunda, Abang, sama Kak Aresa.” Arjuna tersenyum kecil, tipikal Aresa nggak ada yang hal yang terjadi tanpa alasan.

“Terus?” Tanya Arjuna lagi memancing Adela untuk lebih banyak bercerita.

“Ternyata Adela sedih karena harus nunggu abang pulang sekolah yang lama. Kata kak Aresa itu Adela lagi rindu sama abang.” Adela mengucek matanya, tanda mengantuk. “Kak Aresa ajak Adela susuh lego, bangun istana nunggu abang pulang. Biar abang pulang, Adela bisa kasih istana yang cantik untuk abang.” Lanjut Adela.

“Adela sedih lagi?” Tanya Arjuna, Adela menggeleng ribut.

“Nggak, soalnya abang pulang dan Adela kasih istana.” Suara Adela semakin mengecil larut dalam rasa kantuknya, meninggalkan Arjuna termenung sendirian. Nggak ada hal yang terjadi tanpa alasan—Kata kata andalan Aresa kembali menggaung di kepala Arjuna, ia merefleksikan dirinya, mencari – cari alasan, mengapa ia harus merasa senelangsa dan sesedih ini, mencari – cari alasan mengapa Aresa harus jadi momok pikiran untuknya. Sampai Arjuna teringat satu titik, sepulang sekolah, soal ia yang cuma tidak terbiasa.

Arjuna bukan cuma tidak terbiasa. Tapi ia takut, takut kalo Aresa akan lebih nyaman berteman dengan Azer dibanding dirinya, takut Arjuna sekarang cuma jadi pilihan kedua dalam setiap keputusan sahabatnya. Arjuna takut…soal ditinggalkan, Arjuna soal ditinggalkan dan perelaaan itu nggak pernah menyatu..sakitnya itu, nggak bisa ditoleransi oleh Arjuna. Jadi, Arjuna cuma bisa berdoa, soal Aresa, nanti di kala waktu beri pilihan soal sebuah hubungan, semoga Arjuna jauh dari yang namanya ditinggalkan dan jauh dari yang namanya harus merelakan. (Bersambung)

 
Ari Hardianah Harahap--

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: