Bagian 4: “Soal Penghakiman Tanpa Suara”
ilustrasi--
“Maaf tanpa penyesalan itu nggak berguna sama sekali. Jangan minta maaf, kalo nanti kedepannya masih ada korban, dari hal yang serupa dari kasus yang itu – itu saja”
>>>***<<<
Azer memutar bola matanya malas, saat melihat Aresa dan Arjuna yang lagi – lagi menunggunya di halaman parkir sekolah. Seminggu belakangan ini, Aresa dan Arjuna sangat gencar menemuinya, entah memberi susu, mengajak makan siang bersama, atau mengajak untuk belajar bersama setelah sepulang sekolah yang jelas semuanya Azer tolak. Ingatkan Azer, bahwa dia masih dendam kesumat pada Aresa dan Arjuna, seminggu ini ia harus membasuh wajahnya dengan hati – hati, agar jahitan dikepalanya tidak basah, dan belum lagi tiga hari pertama lukanya, ia harus mengalami sakit kepala dan nyeri disekitar lukanya yang membuat setiap pergerakannya serba salah.
“Azer!”
Azer mendengus kalas Aresa memanggilnya, ia memutarbalikkan motornya, meninggalkan Arjuna dan Aresa yang berlari ke arahnya. Tolong pergi jauh – jauh, mendengar nama kedunya dari jauh saja Azer muak apalagi melihat keduanya secara langsung. Azer tidak pernah niat membenci siapapun di sekolah barunya. Namun, mengingat Aresa dan Arjuna yang keliatan baik – baik saja setelah membuat dirinya menderita dengan luka di kepalanya, Azer ragu bahwa maaf kedunya adalah maaf yang tulus akan rasa penyesalan. Yang Azer lihat, kedunya tidak terlalu merasa bersalah, seolah hal itu memang bukanlah kesengajaan. Walaupun tidak sengaja, peristiwa ini tidak akan terjadi, jika keduanya lebih dewasa dalam bertindak, orang gila mana yang berkejar – kejaran di lapangan upacara yang ramai dengan sepatu yang bersol tebal.
“Cih, maaf apaan. Basi lo berdua!” Gumam Azer, menggas asal motornya, kemanapun dimana Aresa dan Arjuna tidak lagi dalam jangkauan pandangannya.
***
Aresa menghela nafas, raut wajahnya kentara sekali kecewa, sebab lagi – lagi panggilannya diacuhkan oleh Azer. Ia kepalang kesal dengan Azer, niatnya tidak ingin lagi peduli pada eksistensi manusia menyebalkan seperti Azer. Namun, mengingat luka di kepala Azer juga penyebabnya, Aresa sedikit menurunkan egonya untuk meminta maaf hingga maafnya diterima. Arjuna tidak susah payah sepeduli itu pada Azer yang kelewat kekanak – kanakan, formalitas menemani Aresa, sebab sahabatnya itu tidak akan berhenti merecokinya jika Arjuna tidak menurutinya.
“Ngapain sih lo sepeduli itu sama orang yang bahkan liat wajah lo aja nggak mau?” Arjuna kesal, sebab bagaimanapun seharusnya Azer tidak memperlakukan Aresa terlalu sepele. Aresa itu sulit bangun pagi, tapi demi menemui Azer, Aresa rela bangun jam lima subuh dan bersiap – siap untuk sampai ke sekolah lebih cepat, bahkan Aresa melewatkan sarapannya hanya untuk membuat bekal pada Azer hanya karena sebuah permintaan maaf.
“Lo mah, si Azer pasti marah, lo pikir dua jahitan di kepala itu nggak sakit. Terutama di muka, syukur kalo bekas jahitannya bisa hilang?! Kalo nggak hilang gimana?! Seumur hidup pas dia liat kaca dia bakal selalu ingat, kalo bekas itu salahnya Aresa dan Arjuna!”
Arjuna memutar kedua bola matanya jengah, Aresa itu terlalu bawa – bawa perasaan di setiap kejadian, “Ya udah sih, kan kita udah minta maaf. Dan dia itu cowo Aresa…ya kali dua jahitan aja selebay itu!”
Aresa memukul punggung Arjuna keras, “Sejak kapan parameter rasa sakit berdasarkan jenis kelamin hah?!” Kesal Aresa, “Lo tuh…kebayang nggak sih kalo yang namanya sakit ya tetap aja sakit. Mau sakit karena ditusuk jarum kecil atau sakit karena jatuh di aspal. Tetap aja sakit!”
“Coba lo pikir lagi deh, Arjuna! Dari sisinya si Azer, bayangin tiga hari pertama dia harus tahan sakit kepala dan nyeri di jahitan kepalanya, yang buat mau ngapa – ngapain susah, yang diungkapin juga sulit rasanya. Belum lagi, dia harus hati – hati tiap kali mau berurusan sama air, takut lukanya basah, takut lukanya makin parah. Dan luka itu bukan karena dia nggak hati – hati, tapi karena kita yang main kejar – kejaran di lapangan yang ramai! Dia itu yang paling rugi diantara kita!”
Aresa dan Arjuna itu sering bertengkar, tapi pertengkaran yang terjadi itu adalah selenting gurau satu sama lain, kalo hubungan Aresa dan Arjuna itu dibangun dari perdebatan yang tiada habis kemudian berkahir canda sembari tertawa seolah yang didebatkan tidak pernah terjadi. Ini pertama kalinya, Arjuna bahkan harus diam liat Aresa yang tarik urat di leher dan kepalanya. Bahkan mata Aresa sampai berkaca – kaca, buat Arjuna merasa bersalah juga bingung. Memangnya sesalah itu ya mereka?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: