Bagian 1: “Cinderella Versi Bar – Bar”

Bagian 1: “Cinderella Versi Bar – Bar”

ilustrasi--

Aresa itu bukan siswi dengan segudang prestasi di sekolah, ia masih menyabet sebagai perempuan rangking terakhir di kelasnya yang sangat bermusuhan dengan fisika dan kimia. Tapi, bukan berarti Aresa juga tipe siswi yang mau – mau saja menerima perintah dari teman lainnya hanya keterbatasan nilai akademiknya, ia masih memberi sekolah piala tingkat propinsi walau hanya juara dua di bidang kepenulisan, ia masih menjadi sekretaris di organisasi utama sekolahnya. Aresa masih bersinar, walau tidak seterang bintang lain di sekitarnya.

Aresa juga bukan siswi yang tergolong cantik. Tapi—oh ayolah, privilage cantik memang benar adanya, tapi ia punya inner beauty yang tentu tidak semua orang punya—walau kata Arjuna ia hanya over percaya diri. Terserah. Setidaknya, Aresa tidak menyia – nyaiakan waktunya hanya terus dengan meratapi dirinya, memangnya standarisasi cantik itu yang bagaimana? Yang mirip bidadari, ke surga aja belum pernah, sok tau bidadari secantik apa. Iya, kalo benar mati masuk surga cus langsung ketemu bidadari, kalo ditendang ke neraka, makan noh si secantik bidadari lo itu.

Berkebalikan dengan Arjuna yang sudah sejak sekolah menengah memang selalu jadi tokoh utama. Tipe – tipe manusia yang selalu jadi pusat perhatian dengan wajah tampan, segudang prestasi akademi dan non-akademiknya, serta etika yang luar biasa menyerempat kata sempurna. Palsu, bagi Aresa yang seringkali tidak habis pikir pada teman – teman perempuannnya atau adik – adik kelas yang terus saja mengidolakan Arjuna. Arjuna itu tidak lebih dari laki – laki cabe – cabean yang mulutnya sepedas cabe setan. Cih, wajahnya Arjuna juga pas – pasan, entah apa yang digilai oleh anak muda seusianya itu dari seorang Arjuna Indrawa.

“Muka lo selow dikit napa sih, Sa. Pait banget pagi – pagi, ngalahin asemnya adek gue yang belum mandi.” Ujar Arjuna menghampir Aresa yang menunggunya keluar kelas sebab bercengkaram dengan teman – teman sekelasnya lebih dulu.

“Pait – Pait, Muka lo noh kek becak tua di pasar loak!”

Aresa meninggalkan Arjuna lebih dulu ke lapangan upacara. Hari ini, Arjuna pasti akan kembali jadi komandan upacara, sama seperti hari – hari biasanya dengan title yang tidak pernah lepas ‘Arjuna, si siswa yang paling bisa diandalkan’. Aresa tau marahnya pada Arjuna tidak punya alasan yang jelas, hanya saja rasanya menyebalkan melihat Arjuna yang keliatan baik – baik saja di hari senin, sedang ia tunggang langgang memperbaiki moodnya sebab upacara dan seperangkat acaranya selalu saja jadi ajang yang menyebalkan baginya. Bukannya ia tidak cinta Indonesia, oh ayolah, ia hanya tidak bisa menoleransi pidato kepala sekolahnya yang mukadimahnya saja lebih dua jam. Tiap mendengar suara kepala sekolahnya, Aresa nyaris muntah setiap saatnya.

“Jangan coba – coba kabur dari barisan lo,” Peringat Arjuna yang tiba – tiba di belakang Aresa, “Kalo beneren kabur gua potek beneren pala lo kasih sunder bolong.” Ancam Arjuna.

“Lo duluan yang gue nikahin sama mbak kunti di sebelah rumah!” Balas Aresa tak kalah singit.

“Halah, sok – sokan mau nikahin gue sama Mbak kunti, gue pacaran dua minggu aja lo udah kek jomblo nelangsa. Kenapa? Sakit ya neng kena friendzone?”

“Siapa yang lo bilang kena friendzone? Gue? Sama lo? Wah, kepentok apa otak lo semalam” Tatap Aresa tidak menyangkan terhadap spekulasi yang dikeluarkan Arjuna.

Arjuna mendekat ke telinga Aresa, “Secara gue ini cowok idaman. Kan nggak menutup kemungkinan kalo lo juga jatuh hati sama gue!”

Aresa tidak lagi dapat menahan emosinya, ia segera melepas sebelah sepatunya. Arjuna yang mendapatkan alarm bahaya di kepala segera merepet lari dari jangkaun Aresa. “Balik lo sini Arjuna Sialan Indrawa, biar gua lurusin lagi itu kepala lo!” Teriak Aresa kesal, sudah jadi rahasia umum persahabatan Aresa dan Arjuna layaknya Macan betina dan Anjing Pitbull, yang mau dilihat dari sisi manapun tidak ada cocoknya. Aresa melempar sepatunya ke arah Arjuna yang berlari di tengah lapangan, tepat sasaran jika saja Arjuna tidak berjongkok dan menghadap kanan demi melewatkan sepatu Aresa yang solnya lebih tebal dari kaca pembesar di labolatorium.

Bugh

“Darah, Darah, Darah.” (Bersambung)

 
Ari Hardianah Harahap--

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: